Selasa, 13 Juli 2010

Mengenal Iklim dan Perubahannya

Apakah Anda merasakan sesuatu yang berubah dengan lingkungan sekitar akhir-akhir ini, udara yang semakin panas, hujan yang tiba-tiba serta banyak bencana alam yang terjadi. Inilah fenomena yang mungkin kalau dulu orang Jawa mengenal tanda alam yaitu dengan "Pranoto Mongso", tapi saat ini tanda-tanda alam sangat sulit untuk diprediksi karena perubahan iklim. Ada apa dengan perubahan iklim dan dampaknya?
Pengertian Iklim dan Perubahan Iklim
Pada umumnya orang sering menyatakan kondisi iklim sama saja dengan kondisi cuaca, padahal kedua istilah tersebut adalah suatu kondisi yang tidak sama.

Beberapa definisi cuaca adalah :
  • Keadaan atmosfer secara keseluruhan pada suatu saat termasuk perubahan, perkembangan dan menghilangnya suatu fenomena (World Climate Conference, 1979).
  • Keadaan variable atmosfer secara keseluruhan disuatu tempat dalam selang waktu yang pendek (Glen T. Trewartha, 1980).
  • Keadaan atmosfer yang dinyatakan dengan nilai berbagai parameter, antara lain suhu, tekanan, angin, kelembaban dan berbagai fenomena hujan, disuatu tempat atau wilayah selama kurun waktu yang pendek (menit, jam, hari, bulan, musim, tahun) (Gibbs, 1987).

Ilmu yang mempelajari seluk beluk tentang cuaca disebut meteorologi.

Sedangkan iklim didefinisikan sebagai berikut :
  • Sintesis kejadian cuaca selama kurun waktu yang panjang, yang secara statistik cukup dapat dipakai untuk menunjukkan nilai statistik yang berbeda dengan keadaan pada setiap saatnya (World Climate Conference, 1979).
  • Konsep abstrak yang menyatakan kebiasaan cuaca dan unsur-unsur atmosfer disuatu daerah selama kurun waktu yang panjang (Glenn T. Trewartha, 1980).
  • Peluang statistik berbagai keadaan atmosfer, antara lain suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi disuatu daerah selama kurun waktu yang panjang (Gibbs,1987).
Ilmu yang mempelajari seluk beluk tentang iklim disebut klimatologi.

Adapun definisi perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia (Kementerian Lingkungan Hidup, 2001). Perubahan fisik ini tidak terjadi hanya sesaat tetapi dalam kurun waktu yang panjang. LAPAN (2002) mendefinisikan perubahan iklim adalah perubahan rata-rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu. Sedangkan istilah perubahan iklim skala global adalah perubahan iklim dengan acuan wilayah bumi secara keseluruhan. IPCC (2001) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih). Selain itu juga diperjelas bahwa perubahan iklim mungkin karena proses alam internal maupun ada kekuatan eksternal, atau ulah manusia yang terus menerus merubah komposisi atmosfer dan tata guna lahan.

Istilah perubahan iklim sering digunakan secara tertukar dengan istilah ’pemanasan global’, padahal fenomena pemanasan global hanya merupakan bagian dari perubahan iklim, karena parameter iklim tidak hanya temperatur saja, melainkan ada parameter lain yang terkait seperti presipitasi, kondisi awan, angin, maupun radiasi matahari. Pemanasan global merupakan peningkatan rata-rata temperatur atmosfer yang dekat dengan permukaan bumi dan di troposfer, yang dapat berkontribusi pada perubahan pola iklim global. Pemanasan global terjadi sebagai akibat meningkatnya jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Naiknya intensitas efek rumah kaca yang terjadi karena adanya gas dalam atmosfer yang menyerap sinar panas yaitu sinar infra merah yang dipancarkan oleh bumi menjadikan perubahan iklim global (Budianto, 2000).

Meskipun pemanasan global hanya merupakan 1 bagian dalam fenomena perubahan iklim, namun pemanasan global menjadi hal yang penting untuk dikaji. Hal tersebut karena perubahan temperatur akan memperikan dampak yang signifikan terhadap aktivitas manusia. Perubahan temperatur bumi dapat mengubah kondisi lingkungan yang pada tahap selanjutkan akan berdampak pada tempat dimana kita dapat hidup, apa tumbuhan yang kita makan dapat tumbuh, bagaimana dan dimana kita dapat menanam bahan makanan, dan organisme apa yang dapat mengancam. Ini artinya bahwa pemanasan global akan mengancam kehidupan manusia secara menyeluruh.

Studi perubahan iklim melibatkan analisis iklim masa lalu, kondisi iklim saat ini, dan estimasi kemungkinan iklim di masa yang akan datang (beberapa dekade atau abad ke depan). Hal ini tidak terlepas juga dari interaksi dinamis antara sejumlah komponen sistem iklim seperti atmosfer, hidrofer (terutama lautan dan sungai), kriosfer, terestrial dan biosfer, dan pedosfer. Dengan demikian, dalam studi-studi mengenai perubahan iklim dibutuhkan penilaian yang terintegrasi terhadap sistem iklim atau sistem bumi.

sistem-iklim
Gambar 1 : Sistem iklim
Sumber : http://www.ncdc.noaa.gov/paleo/ctl/about1a.html
Bagaimana Iklim dapat Berubah?
Salah satu komponen iklim adalah temperatur. IPCC menemukan bahwa, selama 100 tahun terakhir (1906-2005) temperatur permukaan bumi rata-rata telah naik sekitar 0.74oC, dengan pemanasan yang lebih besar pada daratan dibandingkan lautan. Tingkat pemanasan rata-rata selama 50 tahun terakhir hampir dua kali lipat dari yang terjadi pada 100 tahun terakhir. Akhir tahun 1990an dan awal abad 21 merupakan tahun-tahun terpanas sejak adanya arsip data modern. Peningkatan pemanasan sebesar 0.2oC diproyeksikan akan terjadi untuk setiap dekade pada dua dekade kedepan. Proyeksi tersebut dilakukan dengan beberapa skenario yang tidak memasukkan pengurangan emisi GRK. Besar pemanasan yang akan terjadi setelahnya akan tergantung kepada jumlah GRK yang diemisikan ke atmosfer.

global temperatur
Gambar 2 : Hasil observasi suhu global (1860-2000)


Mengapa suhu permukaan bumi bisa meningkat? Penelitian yang telah dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa ternyata makin panasnya planet bumi terkait langsung dengan efek rumah kaca yang merupakan hasil dari penyerapan energi oleh gas-gas tertentu yang terdapat di atmosfer (disebut gas rumah kaca karena gas-gas ini secara efektif ‘menangkap’ panas yang terdapat di atmosfer bagian bawah) dan meradiasikan kembali sebagian dari panas tersebut ke bumi.

Gas rumah kaca adalah salah satu kelompok gas dalam atmosfer yang dapat menjaga suhu permukaan bumi agar tetap hangat. Sistem kerjanya adalah dengan mengembalikan pantulan sinar matahari dari permukaan agar tetap berada dalam sistem atmosfer bumi. Kondisi atmosfer bumi yang hangat memungkinkan manusia dan mahluk hidup lainnya tumbuh dan berkembang biak. Dengan demikian, pada dasarnya gas rumah kaca dan efeknya diperlukan untuk menjaga kehidupan di bumi. Tanpa adanya efek rumah kaca yang alami, suhu di permukaan bumi akan berada pada angka -18˚C bukan seperti suhu saat ini. Masalahnya yang terjadi saat ini adalah konsentrasi gas rumah kaca semakin bertambah melebihi tingkat normal sehingga sebagian radiasi yang berasal dari matahari maupun permukaan bumi terjebak oleh gas-gas rumah kaca yang mengakibatkan radiasi tidak dapat ke luar angkasa dan kembali ke permukaan bumi sehingga memanaskan suhu bumi. Garis besar proses efek rumah kaca ditunjukkan pada gambar 3.

efek rumah kaca
Gambar 3 : Efek rumah kaca
Sumber: http://h4r14nt0.files.wordpress.com/

Aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca dalam atmosfer (sebagian besar berupa karbon dioksida yang berasal dari pembakaran batu bara, minyak, dan gas; ditambah gas-gas lainnya). Tingkat karbon dioksida sebelum masa industri (sebelum Revolusi Industri dimulai) adalam sekitar 280 ppmv, dan tingkat karbon dioksida saat ini adalah sekitar 370 ppmv (IPCC). Konsentrasi CO2 dalam atmosfer kita saat ini, belum pernah meningkat selama 420.000 tahun. Namun, berdasarkan laporan khusus dari IPCC mengenai skenario emisi (Special Report on Emission Scenarios –SRES), di akhir abad ke 21, bahwa konsentrasi karbon dioksida sebesar 490 – 1260 ppm (75 – 350%) di atas angka konsentrasi di masa pra industri. Karbon dioksida tersebut merupakan salah satu dari kontributor utama terhadap pemanasan global saat ini. Gas rumah kaca lainnya yang menjadi kontributor utama pemanasan global adalah metana (CH4) yang dihasilkan dari aktivitas agrikultur dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari pupuk, dan gas-gas yang digunakan untuk kulkas dan pendingin ruangan (CFC). Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2, juga makin memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer.

Setiap gas rumah kaca memiliki efek pemanasan global yang berbeda-beda. Beberapa gas menghasilkan efek pemanasan lebih parah dari CO2. Sebagai contoh sebuah molekul metan menghasilkan efek pemanasan 23 kali dari molekul CO2. Molekul NO bahkan menghasilkan efek pemanasan sampai 300 kali dari molekul CO2. Gas-gas lain seperti chlorofuorocarbons (CFC) ada yang menghasilkan efek pemanasan hingga ribuan kali dari CO2. Tetapi untungnya pemakaian CFC telah dilarang di banyak negara karena CFC telah lama dituding sebagai penyebab rusaknya lapisan ozon.
Perubahan Iklim Masa Lalu

Iklim bumi telah berubah terus sepanjang sejarah. Dari periode glasial (masa es) dimana es menutupi hampir seluruh permukaan bumi, sampai periode interglasial dimana es berkurang ke arah kutun atau mencair – iklim terus berubah. Para ilmuwan telah dapat memulai menyatukan potongan-potongan gambaran mengenai iklim bumi mulai dari beberapa dekade sampai jutaan tahun yang lalu dengan menganalisis sejumlah fenomena yang mewakili kejadian iklim seperti inti es (ice core), lubang-lubang bor, lingkaran tahunan pohon, panjang glasier, sisa tepung sari, dan sedimen lautan, dan dengan mempelajari perubahan dalam orbit bumi mengelilingi matahari.

Telah diketahui beberapa hal yang menjadi penyebab atau pengendali perubahan iklim di masa lalu, yaitu antara lain : 
  • Perubahan orbit bumi. Perubahan dalam bentuk orbit bumi (eccentricity) sebagaimana kemiringan bumi dan efek presisi jumlah sinar matahari yang diterima di permukaan bumi.  .
  • Perubahan intensitas matahari.  
  • Erupsi vulkanik: Letusan gunung berapi dapat mempengaruhi iklim karena adanya emisi aerosol dan karbondioksida ke atmosfer.  
  • Perubahan arus laut : pemanasan atau pendinginan permukaan bumi dapat menyebabkan perubahan arus laut. Karena arus laut memiliki peranan yang signifikan dalam pendistribusian panas di bumi, perubahan arus ini dapat memberi perubahan yang signifikan terhadap iklim antar wilayah.
  • Perubahan konsentrasi gas rumah kaca. Pemanasan atau pendinginan permukaan bumi dalam menyebabkan perubahan konsentrasi gas rumah kaca. Contohnya, pada saat temperatur global lebih panas, karbon dioksida dikeluarkan dari lautan. Pada saat perubahan orbit bumi memicu periode pemanasan (atau interglasial),  peningkatan konsentrasi karbon dioksida dalam memperkuat pemanasan dengan meningkatkan efek gas rumah kaca. Pada saat temperatur menjadi lebih dingin, CO2 masuk ke lautan dan berkontribusi pada proses pendinginan. Selama setidaknya 650.000 tahun terakhir, level CO2 cenderung mengikuti periode glasial dingin (cool glacial periods). Level CO2 dapat dilihat pada gambar berikut.
rekonstruksi konsentrasi co2
Gambar 4 : flukruasi temperature (garis merah) dan dalam konsentrasi karbondioksida atmosfer (kuning) selama 649.000 tahun terakhir. Garis merah vertikal di ujung adalah peningkatan level karbondioksida atmosfer selama 2 abad terakhir dan sebelum 2007.
Gambaran Umum mengenai Gas Rumah Kaca
Gas-gas yang menjebak panas dalam atmosfer disebut dengan rumah kaca. Beberapa gas rumah kaca seperti karbon dioksida terbentuk secara alamiah dan diemisikan ke atmosfer melalui proses-proses alami dan aktivitas manusia. Gas rumah kaca lainnya (seperti fluorinated gases) terbentuk dan diemisikan hanya melalui aktivitas manusia.
Secara prinsip, gas-gas rumah kaca yang masuk ke atmosfer karena aktivitas manusia adalah :
  1. Karbon dioksida. Karbon dioksida masuk ke atmosfer melalui pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas alam, dan batu bara), sampah padat, pohon-pohon, dan produk-produk kayu, dan juda merupakan hasil dari reaksi kimia lainnya (seperti industri semen). Karbon dioksida juga dapat lepas dari atmosfer (atau mengalami sequestrasi) pada saat diserap oleh tumbuhan sebagai bagian dari siklus karbon biologis.
  2. Metana (CH4). Metana diemisikan selama produksi dan pengangkutan batubara, gas dan minyak alam. Emisi metana juga merupakan hasil dari peternakan dan kegiatan pertanian lainnya dan oleh pembusukan sampah organik di pembuangan sampah padat skala besar (kota).
  3. Nitrat oksida (N20). Nitrat oksida diemisikan selama berlangsung aktivitas pertanian dan industri, dan juga selama kombusi bahan bakar dan sampah padat.
  4. Flourinated gas. Hidroflorokarbon, perflorokarbon dan sulful heksaflorida adalah gas-gas rumah kaca yang sangat kuat yang sintetis, yang diemisikan dari sejumlah proses-proses industri. Terkadang kelompok gas ini digunakan untuk sunstitusi ozone-depleting substances (seperti CFCs, HCFCs, dan halons). Gas-gas ini secara tipikal diemisikan dalam kuantitas yang lebih kecil, tetapi karena gas-gas tersebut merupakan gas-gas rumah kaca yang kuat, dan terkadang disebut sebagai High Global Warming Potential Gases (High GWP gases).
    Aspek Iklim dalam Perencanaan Perkotaan
    1.  Pengantar

    Masalah perkotaan pada saat ini telah menjadi masalah yang cukup pelik untuk diatasi. Perkembangan perkotaan membawa pada konsekuensi negatif pada beberapa aspek, termasuk aspek lingkungan. Perkembangan kota membutuhkan ruang sebagai tempat hidup penduduk dengan aktivitasnya. Pertambahan jumlah penduduk kota berarti juga peningkatan kebutuhan ruang. Karena ruang tidak dapat bertambah, maka yang terjadi adalah perubahan penggunaan lahan, yang cenderung menurunkan proporsi lahan-lahan yang sebelumnya merupakan ruang terbuka hijau. Pada saat ini hanya 1,2% lahan di dunia merupakan kawasan perkotaan, namun coverage spasial dan densitas kota-kota diperkirakan akan terus meningkat di masa yang akan datang. PBB telah melakukan estimasi dan menyatakan bahwa pada tahun 2025, sekitar 60% populasi dunia akan tinggal di kota-kota.

    Pada saat ini telah diakui bahwa iklim perkotaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan iklim kawasan di sekitarnya yang masih memiliki unsur-unsur alami cukup banyak. Perubahan unsur-unsur lingkungan dari yang alami menjadi unsur buatan menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik iklim mikro. Berbagai aktivitas manusia di perkotaan, seperti kegiatan industri dan transportasi, mengubah komposisi atmosfer yang berdampak pada perubahan komponen siklus air, siklus karbon dan perubahan ekosistem. Selain itu, polusi udara di perkotaan menyebabkan perubahan visibilitas dan daya serap atmosfer terhadap radiasi matahari. Radiasi matahari itu sendiri merupakan salah satu faktor utama yang menentukan karakteristik iklim di suatu daerah.

    Perubahan-perubahan tersebut sangat penting untuk menjadi bahan pertimbangan dalam perancangan dan perencanaan kota. Namun di sisi lain, pemahaman mengenai urbanisasi dan dampaknya pada sistem iklim-bumi belum lengkap. Dan dalam sistem perencanaan pembangunan perkotaan di Indonesia, unsur iklim masih dianggap sebagai elemen statis, dimana diasumsikan tidak ada interaksi timbal balik antara iklim dengan perubahan guna lahan. Data-data iklim lebih sering dipergunakan sebagai data yang mendukung pernyataan kesesuian lahan dan lokasi bagi pengembangan fungsi sebuah kawasan, terutama untuk pengembangan kawasan pertanian. Namun dalam perancangan dan perencanaan kawasan perkotaan di Indonesia, hampir tidak pernah dipertimbangkan bahwa perubahan guna lahan yang direncanakan akan memberikan implikasi yang sangat besar terhadap sistem iklim.

    2. Beberapa Karakteristik Iklim Perkotaan

    Iklim perkotaan merupakan hasil dari interaksi banyak faktor alami dan antropogenik. Polusi udara, material permukaan perkotaan, emisi panas anthropogenik, bersama-sama dengan faktor alam menyebabkan perbedaan iklim antara kota dan area non perkotaan.

    Iklim suatu kota dikendalikan oleh banyak faktor alam, baik pada skala makro (seperti. garis lintang) maupun pada skala meso (seperti topografi, badan air). Pada kota yang tumbuh dan berkembang, faktor-faktor baru dapat mengubah iklim lokal kota. Guna lahan, jumlah penduduk, aktivitas industri dan transportasi, serta ukuran dan struktur kota, adalah faktor-faktor yang terus berkembang dan mempengaruhi iklim perkotaan (Gambar 1).


    Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi iklim perkotaan
    (Sumber: Sebastian Wypych, 2003)

    Dalam tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka hijau. Namun, adanya kebutuhan ruang untuk menampung penduduk dan aktivitasnya, ruang hijau tersebut cenderung mengalami konversi guna lahan menjadi kawasan terbangun. Sebagian besar permukaannya, terutama di pusat kota, tertutup oleh jalan, bangunan dan lain-lain dengan karakter yang sangat kompleks dan berbeda dengan karakter ruang terbuka hijau.

    Setiap material permukaan mempunyai albedo berbeda yang mengubah fraksi dari radiasi matahari yang terpantul dan terserap di permukaan. Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa albedo kawasan perkotaan hanya sekitar 10-15% (albedo untuk salju adalah lebih besar dari 80%) yang berarti banyak energi matahari yang datang diserap oleh suatu kota [2]. Selain itu, bahan bangunan yang digunakan untuk konstruksi kota pada umumnya dicirikan oleh kapasitas dan keterhantaran panas tinggi. Kombinasi albedo yang rendah dan kapasitas panas yang tinggi ini adalah faktor antropogenik yang menciptakan karakter khusus pada kondisi atmosfer di atas kawasan perkotaan.

    Dari sisi yang lain, geometri tiga dimensi, kota cenderung untuk menjebak radiasi dekat permukaan, dan dengan demikian menurunkan radiasi gelombang panjang yang mungkin dapat dilepaskan. Energi yang cukup besar yang disimpan kota sepanjang siang hari, dilepaskan pada malam hari dengan proses yang sangat lambat. Proses pendingingan di kawasan perkotaan ini jauh lebih lambat bila dibandingkan dengan pendinginan yang terjadi di kawasan non perkotaan yang memiliki jumlah vegetasi cukup banyak.

    Polusi udara yang tinggi adalah faktor lain yang menjadi ciri kawasan perkotaan. Polusi udara perkotaan terdiri dari gas dan partikel/unsur/butir padat yang diemisi oleh industri, transportasi, sistem pemanas dan lain lain. Polusi udara yang teremisi, merubah komposisi atmosfir perkotaan, menurunkan transmissivitas dan meningkatkan daya serap terhadap radiasi matahari. Dengan kata lain, polusi udara menyerap cahaya matahari dan visibilitas udara menurun, sehingga lebih sedikit radiasi matahari yang menjangkau permukaan tanah.

    Pada umumnya pusat kota lebih terpolusi dibanding bagian pinggir kota, tetapi hal tersebut tergantung pada sebaran lokasi industri dan intensitas penggunaan jalan-jalan. Pada siang hari, konsentrasi polusi udara tertinggi cenderung terjadi pada jam-jam puncak, yaitu pada kondisi dimana arus lalu lintas yang terjadi sangat tinggi. Dalam rentang waktu satu tahun, di negara-negara subtropis, konsentrasi polutan tertinggi cenderung terjadi pada waktu musim dingin ketika banyak polusi udara berbahaya dipancarkan karena konsumsi berbagai macam bahan bakar, untuk memanaskan bangunan, dan ketika atmosfir dalam keadaan paling stabil yang memperkecil kemungkinan udara untuk bercampur. Namun, pada musim panas, kabut photochemical tidak jarang pula terbentuk.

    Dalam sebuah kota, evaporasi dapat berkurang secara signifikan karena permukaan artifisial tidak menyerap air sebagaimana halnya permukaan alami. Lebih dari itu, selama musim hujan, air mengalami run off dengan cepat ke dalam sistem drainase kota dan permukaan di perkotaan menjadi cepat kering. Karena air di atas permukaan tanah jumlahnya sedikit, panas yang ada tidak digunakan untuk evaporasi, melainkan digunakan untuk memanaskan atmosfer kota. Penting untuk disadari bahwa kondisi vegetasi di suatu daerah atau kawasan, sangat berpengaruh terhadap suhu udara.

    Dampak faktor antropogenik pada iklim perkotaan tergantung pada ukuran kota, struktur spasial, jumlah penduduk, dan konsentrasi industri. Kota kecil dengan bangunan-bangunan yang relatif rendah dan menyebar di antara area hijau, tanpa pabrik-pabrik atau industri, akan cenderung memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap perubahan iklim perkotaan dibandingkan dengan kota-kota besar dengan bangunan-bangunan yang tinggi.
    Selain itu, setting alam dimana kota berada, memiliki implikasi yang besar terhadap sistem interaksi faktor antropogenik dan iklim lokal. Contohnya, kota yang terletak di daerah bergunung sering berkabut dan aliran udara lemah. Hal tersebut menyebabkan kualitas udara buruk, ditambah lagi oleh inversi temperatur yang sering terjadi.

    Kota yang berada di lembah, formasi inversi terjadi karena adanya shading di bagian dasar dari landform oleh karena adanya kemiringan, sehingga bagian yang lebih rendah sebagai area yang mendapat shade tetap lebih dingin dari area yang terletak di atasnya, dan dengan begitu udara yang berada di dekat permukaan tanah, membentuk inversi temperatur. Ditambah lagi, udara dingin (dan lebih berat) dari area miring sekitar kota turun secara gravitasi dan berkumpul di lembah atau basin, yang memperkuat inversi.

    Iklim perkotaan dapat diperbaiki oleh perencanaan struktur perkotaan dengan cara mengurangi dampak negatif faktor-faktor alam dan antropogenik. Misalnya melalui penempatan daerah hijau (misalnya taman) dan badan air daerah lokasi-lokasi yang strategis. Pabrik-pabrik sebaiknya dibangun dengan memperhatikan arah angin, sehingga polusi udara terbawa oleh angin dan tidak mencemari ke area-area dimana dibutuhkan kualitas udara yang baik sseperti area permukiman.

    3.         Perubahan Iklim Global

    Perubahan iklim pada abad ini telah menjadi isu lingkungan yang cukup penting. Berbagai penelitian dilakukan untuk dapat mengidentifikasi berbagai penyebab terjadinya perubahan iklim. Penelitian-penelitian lainnya mengarah pada identifikasi strategi mitigasi bencana perubahan iklim. Berbagai perubahan dan konsekuensi yang terukur sangat diperlukan untuk dapat melakukan respon dan adaptasi yang tepat terhadap perubahan iklim, terutama adaptasi yang dapat dilakukan di kawasan perkotaan. Hal penting lainnya yang diperlukan adalah eksplorasi pengetahuan mengenai bagaimana pembangunan kota-kota baru dapat memenuhi kriteria untuk mitigasi dan tujuan-tujuan adaptasi.

    Pada tahun 2030, diperkirakan 60% penduduk dunia akan tinggal di kawasan perkotaan. Ini merupakan tantangan yang cukup berat. Pertambangan penduduk perkotaan menuntut adanya efisiensi dalam sistem ekonomi, termasuk efisiensi dalam intensitas penggunaan ruang. Pembangunan pencakar langit dengan kepadatan yang tinggi merupakan salah satu bentuk efisiensi penggunaan ruang. Penggunaan teknologi bahan yang kedap air untuk meningkatkan daya tahan bangunan, adalah bentuk lain dari efisiensi ekonomi di perkotaan. Padahal, tingkat kepadatan yang tinggi dan penggunaan bahan-bahan kedap air dengan kapasitas panas yang tinggi merupakan faktor-faktor yang memberikan kontribusi besar terhadap pemanasan di perkotaan. Respon yang sering muncul terhadap gejala pemanasan ini adalah adanya peningkatan penggunaan energi untuk pendingin ruangan, yang memberikan respon balik dan memperkuat gejala pemanasan di perkotaan.

    4. Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim dalam Perencanaan Kawasan Perkotaan

    Berbagai isu lingkungan di perkotaan muncul dan memberi peringatan mengenai ancaman keberlanjutan pembangunan kota-kota. Dalam hal ini, diperlukan pemikiran jauh ke depan, yang tidak hanya berorientasi pada pemenuhan tujuan berjangka pendek, dan perlu reorientasi visi pembangunan kota lebih mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan keberlanjutan pembangunan. Strategi pemanfaatan ruang, baik untuk kawasan budidaya maupun kawasan lindung, perlu dilakukan secara kreatif, sehingga konversi lahan dari pertanian produktif ataupun dari kawasan hijau lainnya menjadi kawasan non hijau dan non produktif, dapat dikendalikan. Ini merupakan langkah preventif untuk menurunkan laju perubahan suhu, baik secara lokal maupun global.

    Sebagai langkah represif, respon dalam sistem perencanaan dan perancangan kawasan perkotaan dapat dilakukan salah satunya melalui desain perkotaan yang mempertimbangkan sistem iklim.
    Beberapa unsur perkotaan yang perlu diamati antara lain:
  5. Desain dan konstruksi bangunan. Adanya kemungkinan terdapat masalah bangunan dan geoteknik. Desain untuk ventilasi dan pendinginan dengan cara alami, mungkin akan sangat diperlukan.
  6. Ruang terbuka dan ekologi perkotaan. Desain perkotaan sebaiknya menggabungkan koridor-koridor habitat, badan air dan anak sungai, dan pohon-pohon peneduh. Penggunaan lahan multi fungsi mungkin menjadi kunci adaptasi ekologi perkotaan, dengan fokus pada kelompok permukiman baru untuk perencanaan dan pemeliharaan karakter ekologis.
  7. Utilitas. Area-area yang jauh dari pelayanan fasilitas dan utilitas, serta area-area pantai akan menjadi area yang rentan. Pengaruh yang paling besar akan terjadi pada perubahan geoteknik dalam hidrologi dan air tanah, yang akan mempengaruhi drainase serta jaringan suplay air bersih. Infrastruktur utama lainnya sering kali berada pada lintas otoritas kewenangan dan membutuhkan pendekatan yang kolaboratif.
  8. Transportasi. Berbagai prasarana transportasi seperti jalan kereta api (terutama di daerah pantai dan daerah-daerah yang berpotensi banjir) kanal-kanal, pelabuhan laut dan udara harus diadaptasikan terhadap kejadian-kejadian cuaca ekstrim.
  9. Pengembangan sistem drainase dan pembuangan air kotor. Area perkotaan akan membutuhkan desain engineering yang memasukkan unsur area permeabel dan soft engineering.
  10. Perencanaan dan zoning sensitif terhadap iklim dan menuntut konsistensi pembuatan keputusan-keputusan yang didasarkan pada pengetahuan mengenai keterhubungan unsur-unsur iklim dan elemen kota serta berbagai konsekuensi terhadap berbagai perubahan.
 
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam perencanaan ruang :
  • Preservasi dan akuisisi ruang hijau
  • Benchmarks untuk penggambarkan penggunaan lahan, terutama ruang terbuka hijau
  • Menghindari soil capping melalui pengembangan ruang hijau dan air
  • Pengembangan roof greening
  • Pengembangan ’fasade greening’
  • Pengamanan pertukaran udara lokal, yang menyangkut :
  • Produksi udara dingin
  • Suplay udara segar
  • Pengembangan koridor hijau
  • Pengembangan bentuk-bentuk bangunan yang menguntungkan
  • Menentukan tindakan untuk kontrol polusi
  • Terhadap kawasan industri dan komersial
  • Terhadap home heating
  • Terhadap lalulintas

5.         Peranan Ruang Hijau dalam Penentuan Iklim Mikro Perkotaan

Tingginya tingkat pembangunan di daerah perkotaan, seringkali mengabaikan unsur-unsur alami seperti vegetasi. Padahal dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa vegetasi memiliki manfaat dan nilai untuk mempertahankan tingkat kenyamanan udara [1]. Dalam hal ini, sangat penting untuk mempertimbangkan kebutuhan ruang hijau di perkotaan. Pembangunan fisik kota itu sendiri mempengaruhi ketersediaan ruang untuk vegetasi dan distribusinya.

Hasil analisis yang dilakukan dalam beberapa penelitian mengungkapkan adanya dampak dampak-dampak menguntungkan dari ruang hijau perkotaan pada iklim mikro, kualitas udara, reduksi konsumsi energi pada gedung-gedung yang berdekatan, penyimpanan karbon, dan juga memperkaya biodiversity [3,4,5]. Telah diakui pula bahwa terdapat keuntungan sosial ekonomi yang dapat diperoleh dari ruang hijau perkotaan, dan kontribusinya pada perbaikan kesehatan manusia.

Telah diketahui bagaimana perubahan iklim dapat mempengaruhi fungsi dan struktur ruang hijau, yang mana hal tersebut pada akhirnya berdampak pada lingkungan perkotaan. Pengetahuan mengenai hal ini menjadi penting untuk memberikan respon terhadap pengaruh-pengaruh perubahan iklim dengan strategi yang adaptif melalui manajemen, perancangan dan perencanaan ruang hijau perkotaan.

Beberapa peranan ruang hijau di perkotaan yang berhubungan dengan kualitas udara antara lain :
  • Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara
  • Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal
  • Penyerap dan Penjerap Debu Semen
  • Peredam Kebisingan
  • Mengurangi Bahaya Hujan Asam
  • Penyerap Karbon-monoksida
  • Penyerap Karbon-dioksida dan Penghasil Oksigen
  • Penahan Angin
  • Penyerap dan Penapis Bau
  • Mengatasi Penggenangan
  • Ameliorasi Iklim
  • Penapis Cahaya Silau
Beberapa model telah dibangun dan diaplikasikan untuk mengkuantifikasi indikator-indikator kinerja ruang hijau seperti temperatur permukaan, run-off permukaan, carbon storage dan sequestration. Kombinasinya dengan sistem informasi geografis, menghasilkan model-model yang didukung peralatan untuk mengeksplor bagaimana pola spasial ruang hijau dan atribut-atributnya seperti tutupan pohon berhubungan dengan kinerja lingkungannya. Dari hasil studi tersebut disimpulkan bahwa ruang hijau dapat menjadi alat yang efektif untuk melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim di area perkotaan. Tetapi masih terdapat banyak hal yang belum digali, seperti berapa banyak ruang hijau diperlukan, jenis ruang hijau seperti apa yang dibutuhkan dan bagaimana konfigurasi spasial yang paling efektif untuk memperbaiki iklim perkotaan secara efektif.

6.         Penutup

Urbanisasi sebagai fenomena yang terjadi di berbagai belahan dunia, merupakan kontributor terhadap terjadinya perubahan iklim. Ini karena dalam proses urbanisasi terjadi perubahan karakteristik landscape, dari yang bersifat alami menjadi artifisial. Dalam hal ini, berbagai kebijakan yang ditempuh dalam perencanaan dan perancangan kota dan lingkungan, perlu mempertimbangkan perubahan aspek-aspek iklim yang akan terjadi. Penetapan pengembangan kawasan permukiman, kawasan industri, atau pun kawasan budidaya lainnya, tentunya akan memberikan berbagai konsekuensi terhadap kondisi atmosfer di atasnya. Oleh karena itu, para ahli klimatologi ataupun meteorologi perlu dilibatkan dalam proses perencanaan dan perancangan kota. Dengan demikian dapat diharapkan bahwa dalam proses perencanaan tata ruang kota terjadi reaksi yang tepat terhadap situasi atmosfer yang terpolusi dan akan terjadi perbaikan kondisi kenyamanan iklim/bioklimatik di perkotaan.
Skenario Iklim
Akhir-akhir ini diisukan perubahan besar telah terjadi yang menimbulkan dampak krisis bagi kehidupan manusia. Krisis yang terjadi banyak sekali penyebab dan macamnya, seperti yang berkaitan langsung dengan masyarakat luas adalah adanya penurunan produksi pangan, daerah terpolusi, wabah penyakit, meningkatkan ketinggian permukaan air laut, musim kemarau yang semakin panjang, serta periode musim hujan yang pendek namun intensitasnya semakin tinggi.
 
Sehubungan dengan meningkatnya konsentrasi GRK akan menaikan temperatur global. Ada ketidakyakinan dalam mengestimasi bagaimana iklim akan berubah pada skala regional (IPCC, 1996a). karena belum tersedia metoda yang cukup baik untuk memprediksi perubahan iklim pada skala ini, pendekatan alternatif untuk mengspesifikasikan iklim yang akan datang adalah dengan cara skenario iklim.
 
Skenario iklim adalah representasi logis yang akan datang yang konsisten terhadap asumsi emisi GRK yang akan datang dan polutan lain, berdasarkan pemahaman efek peningkatan konsentrasi GRK pada iklim global. Skenario iklim adalah suatu kondisi iklim yang akan datang yang logis, dibangun secara tegas digunakan dalam penelitian konsekuensi potensi perubahan iklim antropogenik (IPCC, 2001).
Range skenario dapat digunakan untuk mengidentifikasi sensitifitas suatu unit penunjukan perubahan iklim dan untuk menolong pengambil kebijakan memutuskan suatu respon. Range skenario ini penting untuk menunjukkan bahwa skenario iklim bukanlah prediksi. Skenario iklim menghasilkan indikasi logis dari apa yang akan terjadi pada satu dekade atau satu abad berdasarkan sekumpulan asumsi yang spesifik.
 
Skenario dapat dinyatakan sebagai alternatif kejadian yang akan datang. Kesesuaian dalam hal perubahan iklim adalah dalam penyediaan informasi bagaimana aktivitas manusia diperkirakan mengubah komposisi atmosfer, bagaimana dapat mempengaruhi iklim global, dan bagaimana perubahan pada iklim bisa mempengaruhi sistem alam dan aktivitas manusia.
 
BEBERAPA JENIS SKENARIO IKLIM
 
 
1. Special Report on Emissions Scenarios (SRES)
 
Skenario SRES merupakan skenario emisi yang dikembangkan oleh Nakicenovic dan Swart (2000). The Special Report on Emissions Scenarios disingkat SRES merupakan laporan yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC untuk laporan yang ketiga atau di sebut Third Assessment Report (TAR) di tahun 2001, untuk skenario emisi masa depan digunakan untuk menjalankan model sirkulasi global untuk mengembangkan skenario perubahan iklim, hal itu untuk menggantikan skenario IS92 yang dikeluarkan pada IPCC Second Assessment Report tahun 1995. Skenario SRES masih digunakan untuk Fourth Assessment Report (AR4) yang dikeluarkan tahun 2007.
 
 
IPCC mempublikasikan skenario iklim tahun 2000 dan digunakan dalam the Third Assessment Report (Special Report on Emissions Skenarios - SRES), skenario ini memasukan perkembangan di masa depan di lingkungan global dengan referensi khusus pada produksi gas rumah kaca dan aerosol. Tiap storyline menampilkan perbedaan demografi, sosial, ekonomi, teknologi dan pembangunan lingkungan yang berbeda dalam cara pertambahan yang tidak dapat berubah.
 
Empat puluh skenario dikembangkan oleh enam tim modeling. Semua model valid, dengan tidak adanya penekanan kemungkinan terjadinya. Ke enam kelompok skenario dibentuk dari empat skenario family yaitu:A2,B1,B2 dan tiga grup dalam skenario family A1 yang memiliki alternatif karakteristik pengembangan teknologi energi (A1F1: penggunaan energi fosil yang intensiif), A1T (penggunaan energi yang sebagian besar menggunakan energi non-fosil), A1B (penggunaan energi secara seimbang antara energi non-fosil dan energi fosil).
 
Empat storyline dikombinasikan dengan dua set kecendrungan divergensi: satu set bervariasi antara pengaruh ekonomi kuat dan pengaruh lingkungan kuat, seperangkat set lainnya antara bertambahnya globalisasi dan regionalisasi.
 
Skenario famili berisi skenario tunggal. Enam skenario famili didiskusikan di the IPCC’s Third Assessment Report (TAR) dan Fourth Assessment Report (AR4) adalah A1FI, A1B, A1T, A2, B1, and B2. Skenario utama A1,B1,B2,A2 dari : Nakićenović, N. and R. Swart, Eds., 2000: Special Report on Emissions Skenarios. Cambridge University Press, Cambridge, 599 pp.
 
A1 keadaan dunia yang :
  • Pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat
  • Populasi global mencapai puncaknya pada pertengahan abad (sekitar 9 milyar) dan menurun setelahnya
  • Pengenalan teknologi baru dan lebih efisien dengan sangat cepat
  • Negara-negara mengalami proses konvergensi melalui capacity building dan dengan bertambahnya interaksi budaya dan sosial
  • Terjadi pengurangan berbagai perbedaan yang subtansif terutama dalam pendapatan per kapita regional
  • S skenario family A1 yang memiliki alternatif karakteristik pengembangan teknologi energi (A1F1: penggunaan energi fosil yang intensiif), A1T (penggunaan energi yang sebagian besar menggunakan energi non-fosil), A1B (penggunaan energi secara seimbang antara energi non-fosil dan energi fosil).
 
A2 keadaan dunia yang :
  • Dunia yang sangat heterogen
  • Masalah utama yang dihadapi di tiap region adalah kepercayaan pada diri sendiri dan pemeliharaan identitas lokal
  • Dunia yang independen dan negara-negara yang memiliki kepercayan diri sendiri.
  • Terus terjadi pertambahan populasi
  • Pengembangan ekonomi berorientasi secara regional
  • Perubahan teknologi terjasi secara lebih lambat dan lebih terfragmentasi disertai peningkatan pendapatan per kapita
 
B1 keadaan dunia yang :
  • Dunia yang konvergen dengan populasi global yang mencapai puncaknya (9 milyar pada tahun 2050) di pertengahan abad dan menurun setelahnya sama yang terjadi di skenario A1, tetapi dengan perubahan kecepatan dalam struktur ekonomi sesuai dengan layanan dan informasi ekonomi
  • Pengurangan dalam intensitas material.
  • Pengenalan teknologi yang bersih dan efisien
  • Penekanan pada solusi global untuk ekonomi,sosial, dan ketahanan lingkungan, termasuk peningkatan kekayaan, tetapi tanpa tambahan inisiatif iklim
  • Dunia lebih terintegrasi, lebih friendly secara ekologi.
 
B2 keadaan dunia yang :
  • Penekanan pada solusi lokal daripada solusi global untuk ekonomi,sosial dan ketahanan lingkungan
  • Peningkatan populasi global yang lebih rendah dari A2
  • Tingkat pengembangan ekonomi yang intermediate
  • Perubahan teknologi lebih lambat dan lebih bermacam-macam dibanding Skenario B1 dan A1
  • Skenario berorientasi pada proteksi lingkungan dan kekayaan sosial, yang berfokus pada tingkat lokal dam regional.
  • Dunia lebih terbagi-bagi, tetapi frinedly secara ekologi
 
Gambar 1: Diagram SRES
 
 
Gambar diatas menunjukan ilustrasi skematik skenario SRES. Skenario SRES ini terbagi menjadi empat storyline yang disebut family:A1,A2,B1,B2. Total semua skenario SRES berjumlah 40 skenario yang dikembangkan oleh enam tim pemodelan. Dari tiap skenario family terdiri dari satu skenario grup kecuali skenario family A1 yang terdiri dari tiga skenario grup. Skenario A1 family terbagi tiga berdasarkan pengembangan teknologi alternatif.
 
A1F1:skenario dengan penggunaan bahan bakar fosil secara intensif
A1B: skenario dengan penggunaan bahan bakar fosil secara seimbang
A1T: skenario penggunaan bahan bakar non-fosil yang lebih dominan
 
Tiap skenario grup terbagi menjadi dua bagian besar OS dan HS (HS: harmonized dam OS). Skenario HS artinya dalam populasi global di asumsikan produk bruto dunia dan energi terjadi keseimbangan/keselarasan.Sedangkan OS artinya menunjukan skenario yang menggunakan penggerak iklim yang tidak terdapat di skenario iklim HS. Pengembangan dari tiap skenario baik HS dan OS di perbanyak, jadi total skenario iklim menjadi 40 . Dengan angka-angka di bawah huruf OS atau HS menunjukan masing-masing jumlah skenario iklim.
 
Kondisi iklim dunia sampai 100 tahun (tahun 2100) kedepan sulit diprediksi sehingga ilmuwan berusaha uuntuk melakukan berbagai skenario yang mungkin terjadi. Akibatnya skenario iklim terbagi menjadi empat kelompok utama yang disebut storyline (A1,A2,B1,B2) dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain: perubahan demografis, pengembangan ekonomi, dan pengembangan teknologi.
 
 
Gambar 2: Total global tahunan emisi CO2 dari semua sumber (energi, industri, dan perubahan tata guna lahan) tahun 1990- 2100 (dalam giga ton karbon (GtC/yr)) untuk family dan 6 skenario grup. 40 skenario SRES ditampilkanoleh 4 family (A1, A2, B1, and B2) and 6 skenario grup(A1F1,A1T,A1B,A2,B2,B1): penggunaan energi fosil yang intensif A1FI (terdiri dari batubar,gas dan minyak), penggunaan sebagian besar energi bahan-bakar fosil A1T, keseimbangan penggunaan energi. Skenario A1di Gambar 1a; A2 di Gambar 1b; B1 di Gambar 1c, dan B2 di Gambar 1d. Tiap warna menunjukan rentang skenario harmonized dan non-harmonized pada tiap grup. Sebagai contoh Gambar 1(a), warna oranye (dengan skenario A1F1 ditunjukan dengan garis hitam putus-putus), warna merah (dengan skenario A1B ditunjukan dengan garis hitam solid),warna oranye muda (dengan skenario A1T ditunjukan dengan garis hitam putus-putus), merupakan rentang skenario grup yang terdiri dari skenario harmonized dan non-harmonized. Begitu pula dengan Gambar 1 (b), rentang warna coklat menunjukan rentang skenario harmonized dan non-harmonized A2 dengan garis solid hitam menunjukan skenario A2.
 
 
2. Skenario Post-SRES
 
Merupakan skenario iklim berdasarkan skenario emisi yang dipublikasikan setelah IPCC selesai melaporkan SRES ( Special Report on Emission Skenarios), setelah tahun 2000.
 
 
3. Skenario IS92
 
Enam alternatif skenario IPCC (IS92a s.d IS92f) dipublikasikan tahun 1992 dalam the 1992 Supplementary Report to the IPCC Assessment. Scenario tersebut memilliki asumsi yang luas yang diakibatkan oleh seberapa besar emisi GHG terjadi dan bagaimana kebijakan-kebijakan iklim diambil. Perbedaanya terletak pada ekonomi, sosial dan kondisi lingkugan, dan menghasilkan kisaran konsentrasi GHG dimasa depan.
 
Dasar skenario IS92a dan IS92b sangat menyerupai skenario SA90 yang digunakan di the First Assessment Report of the IPCC in 1990. Skenario IS92a digunakan sebagai standar skenario yang digunakan dalam mengukur akibat, meskipun rekomendasi IPCC harus menggunakan keenam skenario tersebut untuk menunjukan range ketidakpastian dalam emisi GHG.
 
Populasi meningkat dari 11.3 juta sampai tahun 2100 dan rata-rata pertumbuhan ekonomi 2.3 % per tahun antara 1990-2100, dengan campuran penggunaan sumber energi yang konvensional dan terbarukan. Emisi tertinggi GHG dihasilkan dari skenario IS92a yang mengkombinasikan semua asumsi, pertumbuhan populasi yang moderate, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, ketersediaan bahan bakar fosil yang tinggi bahkan penghapusan energi nuklir.
 
Skenario ekstrim yang lain adalah IS92c yang memiliki emisi CO2 yang menurun dan mencapai posisi dibawah tahun 1990. Hal tersebut diasumsikan bahwa populasi pertama-tama meningkat, kemudian menurun di pertengahan abad berikutnya, trus pertumbuhan ekonomi rendah dan terdapat beberapa batasan dari persediaan bahan bakar fosil.
 
4. Skenario SA90

Skenario iklim yang digunakan di the First Assessment Report of the IPCC in 1990.
 
5. Skenario Non-SRES
 
Skenario yang bukan merupakan SRES (Special Report on Emission Scenarios), yang terdiri dari :
  • PICTL : Skenario dengan menggunakan GHG konstan pada saat pre-industrial.
  • 20C3M : Skenario dengan menggunakan GHG yang meningkat sesuai dengan pengamatan s.d abad 20.
  • COMMIT : Skenario ideal dimana atmosfer menimbun GHG sebanyak saat tahun 2000.
  • 1PTO4X (1% to quadruple) : Konsentrasi CO2 bertambah dengan kecepatan 1 % per tahun, mencapai 4 kali lipat, kemudian konstan.
  • 1PTO2X (1% to double) : Konsentrasi CO2 bertambah dengan kecepatan 1 % per tahun, mencapai 2 kali lipat, kemudian konstan. 
 
KRITIKAN
 
Skenario SRES mendapat kritikan tajam dari Ian Castles, mantan ahli statistik Australia dan David Henderson, mantan ekonom dari OECD. Inti kritikan mereka adalah penggunaan market exchange rates (MER) untuk perbandingan internasional, sebagai gantinya dapat digunakan PPP exchange rate untuk mengkoreksi perbedaan dalam transaksi energi. Perdebatan tersebut terus berlangsung sampai saat ini.
 
Menurut Ian Catles dan David Henderson, penggunaan MER di skenario SRES skenarios akan menekan perbedaan pendapatan untuk saat ini dan terjadi overestimate mengenai pertumbuhan ekonomi dimasa datang dinegara berkembang, akibatnya hal ini jug akan mendorong overestimate emisi GHG di masa depan. Akibatnya, IPCC harus membuat perubahan iklim yang lebih dramatik daripada yang diproyeksikan sekarang.
 
Akan tetapi, perbedaan dalam pertumbuhan ekonomi akan diimbangi oleh perbedaan dalam intensitas energi. Beberpa ahli mengatakan bahwa efeknya akan salaing menghilangkan secara penuh, sebagain mengatakan akan saling menghilangkan sebagian. Sehingga secara keseluruhan, pengaruh perubahan MER menjadi PPP akan memiliki efek minimum pada karbondioksida di atmosfer.
 
Bahkan jika perubahan iklim global tidak berpengaruh, hakl tersebut ditentang bahwa distribusi emisi regional dan pendapatan sangat berbeda antara skenario MER dan PPP. Perdebatan ini dipengaruhi debat politik, dalam skenario PPP, Cina dan India lebih kecil sumbangsihnya untuk emisi global. Hal tersbeut juga menimbulkan pengaruh vulnerability pad aoerubahan iklim dalam suatu skenario PPP, negara-negara miskin tumbuh lebih lambat dan akan mengalami akibat yang lebih besar.