Sabtu, 08 Desember 2012

Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit untuk Tanaman Lada


Perkebunan kelapa sawit dewasa ini menjadi primadona dan satu dari banyak pilihan untuk berinvestasi. Kelapa sawit mempunyai produktivitas lebih tinggi dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya  seperti kacang kedelai, kacang tanah dan lain-lain,  sehingga harga produksi menjadi lebih ringan. Masa produksi kelapa sawit yang cukup panjang selama 25 tahun  juga akan turut mempengaruhi ringannya biaya produksi yang dikeluarkan oleh pengusaha kelapa sawit. Kelapa sawit juga merupakan tanaman yang paling tahan hama dan penyakit dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya.  Komoditas perkebunan yang berkembang di Indonesia termasuk Kalimantan Tengah adalah kelapa sawit yang produksinya meningkat sebesar 3,78 % per tahun, meningkat lebih cepat daripada minyak kacang kedelai yang naik sebesar 2,01 % per tahun (Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah, 2004).
 Ditinjau dari segi kelayakan kesesuaian lahan secara umum Provinsi Kalimantan Tengah dapat dibagi dalam dua kawasan yaitu kawasan dataran hingga perbukitan yang didominasi oleh tanah mineral dengan jenis tanah podsolik dan di dataran rendah baik yang berada di antara perbukitan maupun di daerah pesisir di dominasi oleh tanah gambut yang kedalamannya sangat bervariasi. Sebagian tanah mineral pada kondisi topografi tertentu dan tanah gambut pada dengan jenis serta kedalaman tertentu dapat dikembangkan untuk tanaman kelapa sawit. Kondisi perkembangan kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah saat ini disajikan dalam Tabel 1. Dari data perkembangan kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah diketahui bahwa dalam 3 tahun terahir ini luas kebun rakyat mengalami peningkatan antara 3.000 hingga 4.000 ha/tahun dan jumlah petani kelapa sawit dan luas kepemilikan lahan petani cenderung berkurang sedangkan perkebunan swasta 40.000 ha pada tahun 2005 dan sekitar 9.000 ha pada tahun 2006 sedangkan perkebunan BUMN belum ada. 
  Industri kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak yaitu minyak kasar sawit (Crude Palm Oil / CPO) dan minyak inti sawit (Palm Kernel Oil / PKO). CPO diproses dari kelapa sawit sedangkan kernelnya (inti daging buah). Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah menghasilkan beberapa macam limbah yang dikelompokkan dalam dua jenis yaitu limbah padat dan limbah cair (Widjaja dan Utomo, 2004). Keberadaan Perkebunan Besar Swasta ternyata diikuti juga dengan perkembangan pabrik kelapa sawit (PKS) untuk produksi Crude Palm Oil (CPO). Sampai dengan tahun 2011 sudah ada 56 perusahaan yang operasional dengan rata-rata kapasitas 59,4 Ton/ TBS/ Jam, sementara ada 9 perusahaan yang sedang dibangun dengan rata-rata kapasitas 46,7 Ton/ TBS/ Jam.

Senin, 22 Oktober 2012

Ketahanan Pangan

Target surplus beras 10 juta ton di tahun 2014 telah mengindikasikan bahwa ancaman kerawanan pangan seperti telah terlihat di depan mata. Gaung ketahanan pangan mulai didengungkan lagi. Ancaman gangguan ketahanan pangan disebabkan beberapa hal diantaranya:
1. Konversi lahan pertanian ke non pertanian yang terjadi setiap tahun dan cenderung terus meningkat
2. Pertumbuhan penduduk yang menyebabkan permintaan akan kebutuhan pangan juga ikut naik
3. Diversifikasi pangan yang masih belum berjalan karena masih tergantung beras
4. Perubahan iklim yang turut menyebabkan perubahan produksi tanaman baik kuantitas maupun kualitasnya

Bagaimana solusi dari 4 faktor utama itu?
1. Untuk konversi lahan pertanian ke non pertanian perlu ditegakkan lagi UU No 41 Tahun 2009 tentang  
    Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
    Pernyataan yang sangat memprihatinkan, artinya setiap tahun kita kehilangan 750.000 ton padi per tahun 
    (bila dianggap semuanya lahan sawah dengan produksi 5 (lima) ton produksi gabah per ha per tahun, dan
    setengahnya ber-irigasi baik atau dua kali panen/tahun, serta semua kehilangan lahan tersebut adalah
    penghasil padi). Apa arti kehilangan 750 ribu ton per tahun bagi Indonesia, bila dari gabah tersebut 
    63,2% jadi beras 474 ribu ton maka pemerintah kehilangan kesempatan memberi beras kepada 4.200
    orang penduduk Indonesia dengan anggapan konsumsi 113 kg/orang/tahun.

    Untuk mengganti kehilangan 100.000 ha lahan pertanian bukan hal yang gampang karena desakan
    pemakai lain dengan modal yang besar, dan dalam hal ini Kementerian Pertanian harus segera melakukan
    intensifikasi disamping ekstensifikasi yang diutarakan Mentan dibawah ini.
    Seperti sering disampaikan maka melakukan efisiensi dan efektifitas pertanian sangat diperlukan (harus) 
   dan perlu digalakan oleh Kementrian Pertanian seperti:
   1. Menaikan produksi gabah per hektar dari 5 ton ke 10 ton per ha (sesuatu yang sangat rasionil dicapai).
   2. Pemberian bibit yang cocok dengan cara bertani dan iklim di Indonesia (bukan pemaksaan dengan 
       bibit  dari luar).
  3. Pelatihan penanganan pasca panen yang baik.
  4. Segera melakukan memvariasikan makanan pokok beras dengan bahan lain (seperti ke kentang yang 
      bisa diproduksi 20 ton/ha).

Juga perlu ketegasan (sekali lagi “ketegasan”) dan cepat, baik dari Pemerintah daerah maupun Pemerintah pusat bagi pelarangan pengalihan/konversi lahan pertanian ke pemakaian lain termasuk untuk perkebunan non pangan pokok. Keterbatasan lahan pertanian ini mau tidak mau harus ekspansi ke luar Pulau Jawa yang masih tersedia lahan yang luas, namun kendalanya adalah lahan-lahan tersebut tergolong marginal yang notabene memerlukan input yang besar atau dengan inovasi teknologi budidaya di lahan marginal (penggunaan varietas tanaman yang toleran terhadap cekaman lingkungan pada lahan marginal).

2. Pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi memerlukan penyadaran tentang perlunya merencanakan
    keluarga, sektor lain harus juga saling bahu membahu untuk penanganan ini. Bukan zamannya lagi banyak 
   anak banyak rezeki karena sekarang keterbatasan lahan pekerjaan dan lahan untuk hidup semakin sempit.

3. Diversifikasi pangan mau tidak mau harus segera berjalan, pemikiran pemerintah

Senin, 10 September 2012

KEMARAU DAN KEKERINGAN

Indonesia sebagai negara tropis hanya mengenal dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Beberapa puluh tahun yang lalu kedua musim ini sangat mudah diprediksi sehingga dalam dunia pertanian dikenal dua musim tanam yaitu ASEP (April - September) dan OKMAR (Oktober-Maret). Sebenarnya prediksi cuaca di Indonesia sangat sulit dijamin akurasinya karena bentang lahan khususnya topografi yang sangat bervariasi.


Ketika musim penghujan maka kelimpahan air bahkan terkadang menyebabkan banjir yang meminta korban (dalam kelimpahan ada bencana). Panen air ini hanya sesaat karena sudah berkurangnya daerah tangkapan hujan (catchment area). Berdasarkan data pemantauan lapangan kejadian banjir dan kekeringan, maka ada tiga faktor dominan penyebab banjir yang harus diperhitungkan yaitu faktor klimatologis, hidrologis dan agronomis. Letak geografis diantara dua benua, dan dua samudra serta terletak di sekitar garis khatulistiwa merupakan faktor klimatologis dominan keragaman iklim penyebab banjir dan kekeringan di Indonesia. Posisi geografis ini menyebabkan Indonesia berada pada belahan bumi dengan iklim monsoon tropis yang sangat sensitif terhadap anomali iklim baik El-Nino Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole Mode (IOD) maupun Median Jullien Oscillation (MJO). ENSO menyebabkan terjadinya kekeringan apabila menghangat (El Nino), sebaliknya menyebabkan terjadinya banjir jika pendinginan (La Nina). Pengaruh IOD dibagi menjadi dua, IOD positif menyebabkan penurunan di wilayah Indonesia bagian selatan, sedangkan IOD negatif menyebabkan terjadinya curah hujan tinggi di wilayah yang sama. Sementara MJO akan berpengaruh pada awal musim hujan yang dimulai dari bagian barat Sumatera bergerak terus ke timur.
Hasil analisis iklim 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan terbentuknya pola iklim baru yang mengarah terjadinya perubahan iklim. Tahun 2007 perubahan itu antara lain dicirikan terjadinya dua periode musim kemarau dan musim hujan dalam satu tahun (), sehingga pola curah hujan berubah dari mono modal menjadi bimodal. Dampak negatif terhadap sektor pertanian yang paling signifikan adalah bergesernya awal musim hujan dengan banjirnya dan kemarau dengan kekeringannya. Implikasi langsungnya adalah kacaunya pola tanam, perubahan durasi musim dan intensitasnya. Perubahan iklim ini diperburuk dengan terjadinya degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS), sehingga mengganggu neraca air hidrologis.
Implikasinya, terjadinya kelebihan air pada musim hujan dan atau kekurangan air pada musim kemarau, sehingga menyebabkan banjir dan atau kekeringan di lahan pertanian, kerusakan pertanaman padi, menurunnya produksi bahkan di beberapa wilayah mengalami puso.

Secara ilmiah, variabilitas iklim antar wilayah dan waktu akibat anomali dan atau perubahan iklim tidak dapat dikendalikan. Antisipasi melalui pendekatan adaptasi yang paling operasional adalah pendekatan klimatologis, hidrologis dan agronomis yang selama ini belum optimal dilakukan petani. Berdasarkan pelajaran dan pengalaman kejadian banjir dan kekeringan sebelumnya, maka sudah selayaknya sektor pertanian dirancang lebih bersahabat dengan fenomena tersebut melalui adaptasi jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Dengan peningkatan kemampuan sumber daya petani, diharapkan petani akan lebih menyadari dan lebih disiplin dalam mentaati jadwal tanam yang ketat dan pilihan komoditas yang tepat.

Secara faktual faktor determinan penyebab banjir dan kekeringan adalah kondisi iklim ekstrim, terganggunya keseimbangan hidrologis, dan penggunaan lahan yang tidak sesuai peruntukannya. Besaran banjir dan kekeringan sangat ditentukan jumlah, intensitas faktor penyebab serta durasi terjadinya.
Penyimpangan iklim akibat ENSO, IOD dan MJO menyebabkan produksi uap air dan awan di sebagian Indonesia bervariasi dari ekstrimitas tinggi ke rendah atau sebaliknya, sehingga menyebabkan penyimpangan iklim terhadap kondisi normalnya. Interaksi ketiga faktor tersebut sangat menentukan besaran faktor klimatologis yang terjadi.
Kekeringan dan banjir juga dipengaruhi faktor hidrologis yang diindikasikan dari perbedaan debit sungai maksimum dan minimum. Kerusakan hidrologis umumnya terjadi akibat degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama bagian hulu yang lerengnya terjal dan mengalami alih fungsi lahan dari bervegetasi menjadi non vegetasi yang tidak meloloskan air (impermeable). Menurut data Departemen Kehutanan, dari 470 DAS di Indonesia, 62 DAS diantaranya kritis, sehingga seringkali mengalami banjir dan kekeringan. Sesuai dengan kesepakatan tiga menteri (Menteri PU, Kehutanan, dan Pertanian) tanggal 9 Mei 2007 di Bogor, maka dalam rangka penyelamatan sumber daya air, DAS-DAS kritis tersebut menjadi prioritas penanganan antar sektor (DAS kritis prioritas terlampir). Produksi sedimen yang tinggi akan mendangkalkan waduk, sungai dan saluran, sehingga menurunkan kinerja layanan irigasi. Laju kerusakan yang jauh lebih tinggi dibandingkan rehabilitasinya, menyebabkan masalah banjir dan kekeringan di wilayah hilir semakin besar.
Lahan pertanian terutama di daerah hilir yang sumber airnya dari bendung atau bendungan (bangunan penangkap air di sungai) kinerjanya sangat dipengaruhi kerusakan hidrologis akibat menurunnya kapasitas tampung saluran dan pasokan air secara signifikan. Kerusakan hidrologis daerah tangkapan air bagian hulu menyebabkan waduk dan saluran irigasi terisi sedimen, sehingga kapasitas tampung air menurun tajam. Terjadinya curah hujan ekstrim tinggi menyebabkan airnya melimpas sehingga terjadilah banjir. Sebaliknya, rendahnya cadangan air waduk yang disimpan pada musim penghujan menyebabkan cadangan air musim kemarau sangat rendah sehingga merupakan pemicu terjadinya kekeringan.
Kerusakan hidrologis juga menyebabkan aliran air sungai menurun drastis atau bahkan tidak ada sama sekali. Data dari Departemen PU, menunjukkan bahwa terdapat 5.590 sungai induk yang terhimpun kedalam 89 Satuan Wilayah Sungai (SWS). Dari sejumlah sungai induk tersebut, 600 sungai diantaranya berpotensi menimbulkan banjir, 62 diantaranya tergolong kritis dan super kritis.
Penentuan jadwal tanam dan pemilihan jenis komoditas tanpa memperhitungkan ketersediaan air merupakan penyebab terjadinya kekeringan agronomis. Fenomena ini banyak dijumpai pada lahan sawah irigasi golongan III ke atas, lahan-lahan tadah hujan ataupun areal gadu liar. Dampak negatif yang paling ekstrim akibat gadu liar adalah puso. Kekeringan agronomis umumnya terjadi akibat kebiasaan (habit) petani yang memilih memaksakan menanam padi walaupun ketersediaan airnya tidak mencukupi. Diperlukan bimbingan dan penyuluhan intensif, percontohan penyesuaian dan pengawalan pola tanam yang tepat, pembukaan peluang pasar komoditas alternatif, serta pemberdayaan petani untuk mengurangi beban kerugian yang dialami.

Wilayah Banjir dan Kekeringan
Wilayah banjir dan kekeringan sebagian besar berada di daerah aliran sungai yang kondisi hidrologisnya mengalami kerusakan. Wilayah banjir umumnya tersebar di :
Dataran rendah dan berdrainase buruk, Sepanjang wilayah sungai terutama dataran banjir (flood plain) dan
Daerah pantai.
Wilayah kekeringan umumnya tersebar di Areal pertanian tadah hujan, Daerah irigasi golongan 3, Daerah gadu liar, Daerah endemik kekeringan.

Pengelolaan
Sampai saat ini data, peta dan informasi tabular, spasial dan temporal tentang banjir dan kekeringan masih dikumpulkan dan disimpan di berbagai instansi Pemerintah seperti Departemen Pekerjaan Umum, Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana, Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Kantor Menteri Lingkungan Hidup, Departemen Dalam Negeri, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional maupun swasta. Fragmentasi data dan informasi banjir dan kekeringan ini sangat menyulitkan dalam identifikasi dan karakterisasi, representasi dan rekonstruksi faktor penyebab, risiko dan model pengelolaannya. Dampaknya, penanganan banjir dan kekeringan lebih banyak dilakukan secara ad hock, partial, sesaat berdasarkan tugas pokok fungsi instansi dan interes prioritasnya. Rendahnya sinergi ini menyebabkan masalah banjir dan kekeringan sampai saat ini tidak dapat diturunkan besarannya sekalipun biaya yang dibelanjakan pemerintah (goverment expenditure) terus meningkat. Diperlukan kerangka pikir dengan pendekatan menyeluruh terhadap fakta empirik banjir dan kekeringan agar dapat memosisikan tugas, tanggung jawab dan kewajiban semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan banjir dan kekeringan.

Berdasarkan kerangka pikir hubungan timbal balik antara faktor penyebab, akibat dan upaya, maka tahapan dan kegiatan utama dalam pengelolaan banjir dan kekeringan dapat direpresentasikan. Informasi ini selanjutnya harus disosialisasikan kepada semua pemangku kepetingan untuk disepakati, dilaksanakan dan diawasi bersama. Pemerintah perlu membuka kesempatan yang proporsional terhadap semua pihak untuk sharing (pengetahuan, pengalaman dan sumberdaya) serta berpartisipasi aktif agar masalah banjir dan kekeringan dapat diselesaikan sampai akarnya.
Pengelolaan banjir dan kekeringan harus dilakukan melalui pendekatan strategis, antisipatif, dan operasional. Cetak biru ini difokuskan pada ketiga pendekatan yang partisipastif dari seluruh pemangku kepentingan berdasarkan prioritas wilayah penanganan kerawanan banjir dan kekeringan. Pendekatan tersebut meliputi: penentuan prioritas pengelolaan banjir dan kekeringan, identifikasi faktor penyebab banjir dan kekeringan serta metode pengelolaannya.

Prioritas
 
Sedangkan prioritas pengelolaan banjir dan kekeringan dilakukan berdasarkan kombinasi dari tiga pendekatan: klimatologis, hidrologis, dan agronomis, dengan memperhitungkan tingkat kemudahan dan pembiayaannya. Penetapan prioritas dilakukan secara partisipatif oleh pemangku kepentingan, petani dan petugas lapangan.
Prioritas I:
Klimatologis: Wilayah yang sangat rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah Aliran Sungai (DAS) dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan berat atau penyebab lainnya, sehingga terjadi banjir dan kekeringan
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra produksi padi.
Prioritas II :
Klimatologis : Wilayah yang rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah aliran sungai dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan sedang atau penyebab lainnya, sehingga terjadi banjir.
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra produksi padi.
Prioritas III :
Klimatologis: Wilayah yang agak rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah aliran sungai dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan ringan atau penyebab lainnya sehingga terjadi banjir.
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra produksi padi.
 
Fenomena ini sudah sering terjadi maka kepekaan dalam kondisi ini harus segera ada tindak lanjut agar bisa mensejahterakan masyarakat Indonesia.

Sumber: Dirangkum dari berbagai sumber

Senin, 03 September 2012

PENDUGAAN EROSI DAN KEHILANGAN HARA PADA AREAL PERKEBUNAN KELAPA SAWIT



PENDAHULUAN

Latar Belakang
Erosi tanah merupakan faktor utama penyebab degradasi tanah, yaitu menurunnya produktivitas tanah pada saat ini maupun masa yang akan datang. Indonesia dengan wilayah seluas 190,5 juta ha, 11,9% diantaranya tererosi. Erosi tanah yang timbul diakibatkan oleh air, yaitu 12,1 juta ha akibat erosi permukaan tanah atau sheet erosion dan 10,5 juta ha akibat erosi alur atau rill erosion dan erosi parit atau gully erosion (Firmansyah, 2007).
Kerentanan tanah terhadap erosi ini sangat bergantung dengan vegetasi alami yang tumbuh pada tanah tersebut. Seiring dengan tuntutan peningkatan perekonomian saat ini, tanah dipergunakan untuk berbagai peruntukkan terutama tanaman pangan dan perkebunan bahkan dengan mengorbankan areal hutan. Perubahan penggunaan lahan ini turut mempercepat degradasi tanah melalui erosi tanah karena struktur akar tanaman hutan yang kuat mengikat tanah digantikan dengan struktur tanaman pertanian yang lebih lemah (Wikipedia, 2012).
Lahan kering  terutama berada di daerah aliran sungai (DAS) secara umum merupakan  lahan yang dipergunakan untuk keperluan pertanian dan perkebunan. Potensi perkebunan khususnya kelapa sawit menjadi salah satu andalan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat salah satunya dengan pencanangan program sejuta bibit sawit. Kelapa sawit sendiri banyak ditanam di lahan kering sekitar DAS. Kondisi ini biasanya berpotensi menjadi penyebab kerusakan lingkungan yang makin parah yaitu menurunkan produktivitas lahan, meningkatkan erosi dan sedimentasi, serta memacu meluasnya banjir pada musim hujan.
Perubahan vegetasi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit secara langsung berimbas pada perubahan fungsi hutan sebagai catchment area. Akibat yang terjadi dari perubahan ini adalah semakin besarnya tingkat erosi yang berujung pada sumbangannya terhadap kehilangan hara serta kelestarian/ umur lahan.

Rumusan Masalah
Pengembangan perkebunan kelapa sawit rentan erosi. Pendugaan erosi tanah di lahan perkebunan kelapa sawit sangat diperlukan untuk mengetahui besarnya dampak erosi yang dihasilkannya baik saat belum menghasilkan maupun setelah menghasilkan. Beberapa fenomena yang terjadi di atas menarik untuk diteliti terutama berkaitan dengan berapa besarnya erosi tanah di areal perkebunan kelapa sawit  saat tanaman pada kondisi belum tanam (BT), tanaman belum menghasilkan (TBM) dan tanaman yang sudah menghasilkan (TM) dengan perbedaan kemiringan lereng ? Selain itu perlu juga diketahui potensi kehilangan hara makro N, P, dan K di areal perkebunan kelapa sawit?

Tinjauan Pustaka
Erosi Tanah
Peristiwa berpindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami dikenal sebagai erosi tanah. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan pada suatu tempat yang lain. Pengangkutan atau pemindahan tanah tersebut terjadi oleh media alami yaitu air dan angin (Arsyad, 2007). Erosi merupakan proses alamiah yang tidak bisa atau sulit  dihilangkan sama sekali atau tingkat erosinya nol, khususnya untuk lahan-lahan  yang diusahakan untuk pertanian. Tindakan yang dapat dilakukan  adalah mengusahakan supaya erosi yang terjadi masih di bawah ambang  batas yang maksimum (soil loss tolerance), yaitu besarnya erosi tidak melebihi laju pembentukan tanah (Suripin, 2001).
Menurut Suripin (2001) erosi terjadi melalui tiga tahap, yaitu tahap  pelepasan partikel tunggal dari masa tanah dan tahap pengangkutan oleh  media yang erosif seperti aliran air dan angin. Pada kondisi dimana energi  yang tersedia tidak lagi cukup untuk mengangkut partikel, maka akan terjadi tahap yang ketiga yaitu pengendapan. Erosi tanah dibagi menjadi dua kelas berdasarkan macam penyebabnya, yaitu:
1. Erosi geologis atau alami adalah suatu kejadian pengikisan lapisan permukaan tanah yang selalu akan terjadi, sinambung dan berlangsung secara alami akibat bekerjanya sejumlah penyebab alami erosi, yaitu curah hujan, limpasan dan lelehan es. Laju tanah tererosi secara geologis hanya dikendalikan oleh faktor-faktor iklim, topografi, tumbuhan, dan tanah. Dampak buruk erosi geologis ini dapat diabaikan karena masih berada dalam batas-batas keseimbangan alami, yaitu laju kehilangan massa tanah kurang atau sama dengan laju pembentukannya.
2. Erosi dipercepat adalah suatu kejadian pengikisan lapisan permukaan tanah yang lajunya lebih besar laju erosi geologis akibat adanya kegiatan manusia yang merusak kemantapan peranan faktor topografi, tanah, dan tumbuhan. Laju erosi tanah dipercepat ini dikendalikan oleh faktor-faktor iklim, topografi, tumbuhan, tanah, dan manusia dan karena lajunya melebihi laju pembentukannya maka dapat berdampak buruk pada kelestarian potensi sumberdaya tanahnya.
Menurut Rahim (2003), erosi yang terjadi dapat dibedakan berdasarkan produk akhir yang dihasilkan dan kenampakan lahan akibat erosi itu sendiri. Atas dasar itu erosi dibedakan atas erosi percikan, erosi lembar, erosi alur, erosi selokan, erosi tanah longsor, dan erosi pinggir sungai.
Erosi percikan terjadi pada awal hujan. Intensitas erosi percikan juga meningkat dengan adanya air genangan tetapi setelah terjadi genangan dengan kedalaman tiga kali ukuran butir hujan erosi percikan minimum. Pada saat inilah proses erosi lembar dimulai. Erosi lembar akan kita temukan secara jelas di daerah yang permukaannya relatif seragam.
Erosi alur dimulai dengan adanya konsentrasi limpasan permukaan. Konsentrasi yang besar akan mempunyai daya rusak yang besar. Bila ukuran alur sudah sangat besar, maka erosi yang terjadi telah memenuhi kategori erosi selokan. Pada proses erosi tanah longsor ditandai dengan bergeraknya sejumlah massa tanah secara bersama-sama. Hal ini disebabkan karena kekuatan geser tanah sudah tidak mampu untuk menahan beban massa tanah jenuh air di atasnya. Adapun erosi pinggir sungai yang mirip erosi tanah longsor mengikis pinggir sungai-sungai yang karena suatu hal mengalami longsor terutama bila pinggir sungai ini vegetasi alaminya ditebang dan diganti dengan tanaman baru. Menurut Rahim (2003), tahapan erosi meliputi benturan butir-butir hujan dengan tanah, percikan tanah oleh butiran hujan ke segala arah, penghancuran bongkahan tanah oleh butiran hujan, pemadatan tanah, penggenangan air di permukaan, pelimpasan air karena adanya penggenangan dan kemiringan lahan, dan pengangkutan partikel terpercik dan/atau massa tanah yang terdispersi oleh air limpasan. Hujan akan menimbulkan erosi jika intensitasnya cukup tinggi dan jatuhnya dalam waktu yang cukup lama. Ukuran-ukuran butir hujan juga sangat berperan dalam menentukan erosi. Hal tersebut dikarenakan energi kinetik merupakan penyebab utama dalam penghancuran agregat-agregat tanah.
Erosi bisa terjadi apabila intensitas hujan turun lebih tinggi dibanding kemampuan tanah untuk menyerap air hujan tersebut. Terjadinya erosi secara rinci bisa dijelaskan melalui tiga tahapan. Pertama, penghancuran agregat tanah dan pelepasan partikel. Kedua, pengangkutan tanah oleh aliran air. Ketiga, pengendapan tanah akibat aliran air tidak mampu lagi mengangkut tanah (Gambar 1).

Mekanisme percikan di lahan datar dan tidak ada dan tidak ada angin, tidak menyebabkan kehilangan tanah yang serius, tetapi jika ada angin kuat yang menyebabkan percikannya mengikuti arah angin, kemiringan lahan juga mengarahkan percikan tanah dan menyebabkannya terkumpul ke arah kaki bukit. Laju erosi karena pengaruh angin dan kemiringan lahan tergantung kepada ketinggian dan jarak tempuh mendatar percikannya. Jika kapasitas angkut percikan dan kemudahan diangkut massa tanah itu tinggi, maka faktor angin dan lereng akan mengintensifkan laju erosi (Purwowidodo, 1999).
Menurut Rahim (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tanah meliputi hujan, angin, limpasan permukaan, jenis tanah, kemiringan lereng, penutupan tanah baik oleh vegetasi atau lainnya, dan ada atau tidaknya tindakan konservasi.
Menurut Arsyad (2007), pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa erosi adalah akibat interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, vegetasi, topografi, tanah dan manusia, yang dapat dinyatakan dalam persamaan deskriptif di bawah ini.
E = Æ’ ( iklim, topografi, vegetasi, tanah,  
           manusia)
Persamaan tersebut di atas mengandung dua jenis peubah, yaitu:
1. Faktor-faktor yang dapat diubah oleh manusia, seperti: vegetasi yang tumbuh di atas tanah, sebagian sifat-sifat tanah yaitu kesuburan tanah, ketahanan agregat, dan kapasitas infiltrasi dan unsur topografi yaitu lereng.
2. Faktor- faktor yang tidak dapat diubah oleh manusia, seperti: iklim, tipe tanah dan kecuraman lereng.
Atas pertimbangan tersebut di atas, maka besarnya erosi dapat diperkecil dengan cara mengatur faktor-faktor yang dapat diubah. Adapun uraian faktor- faktor yang dapat menyebabkan erosi dan limpasan permukaan (iklim, topografi, vegetasi, tanah dan manusia), adalah sebagai berikut:
1. Iklim
Menurut Mohr dan Van Baren (1954) dalam Santosa (1985), angka hujan di Indonesia relatif tinggi bila dibandingkan dengan daerah-daerah tropis lainnya. Menurut Rahim (2003), makin tinggi curah hujan semakin tinggi juga penutupan tanah oleh vegetasi, mengakibatkan semakin membaiknya proteksi terhadap tanah. Demikian pula halnya dengan keadaan tanah. Dalam Purwowidodo (1999), faktor-faktor iklim yang berperan penting dalam merangsang erosi tanah adalah temperatur, angin, dan curah hujan.
Hujan mempengaruhi segala proses erosi mulai dari pemecahan agregat tanah menjadi butir-butir primer sampai dengan pengangkutannya. Hujan tropis adalah lebih erosif daripada hujan di daerah beriklim sedang. Hal ini disebabkan oleh tingginya intensitas hujan. Menurut Arsyad (2007), ada tiga komponen karakteristik hujan yang berpengaruh terhadap erosi yaitu jumlah, intensitas dan distribusi hujan. Jumlah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu wilayah tertentu dinyatakan dalam milimeter atau centimeter. Intensitas hujan menyatakan besarnya atau jumlah hujan yang jatuh dalam waktu yang singkat, dinyatakan dalam milimeter/jam atau centimeter/jam. Jumlah rata-rata curah hujan yang tinggi mungkin tidak menyebabkan terjadinya erosi jika intensitasnya rendah. Demikian juga suatu hujan yang intensitasnya besar yang terjadi dalam waktu singkat mungkin tidak akan menimbulkan erosi karena tidak cukup air untuk mengangkut tanah. Intensitas hujan banyak digunakan untuk menjelaskan fenomena laju erosi yang terjadi.
Laju erosi di kawasan bercurah hujan < 250 mm th-1 adalah sangat kecil atau dapat diabaikan. Laju erosi tanah oleh air akan cenderung meningkat sesuai peningkatan curah hujannya sampai 750 mm th-1 tetapi pada peningkatan selanjutnya tidak diikuti oleh peningkatan laju erosi tanahnya. Daerah bercurah hujan < 750 mm th-1 umumnya merupakan daerah tropis kering sampai padang pasir. Air hujan yang jatuh di kawasan ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan tanamannya. Untuk daerah dengan curah hujan > 750 mm th-1  banyak mempunyai tumbuhan berupa hutan. Adanya hutan alami yang tumbuh baik akan melindungi tanah dari erosivitas hujan yang tinggi. Jika tumbuh-tumbuhan di kawasan hutan ini ditebang, permukaan tanahnya terbuka maka laju erosi tanah pada iklim tropika basah akan melebihi iklim lainnya.
2. Topografi
Pada umumnya suatu areal memiliki topografi yang berbeda, mulai dari datar, landai sampai dengan curam. Faktor-faktor topografi yang mempengaruhi besar kecilnya erosi dan limpasan permukaan ialah derajat kemiringan lereng lapangan dan panjang lereng, dengan kata lain erosi dan limpasan permukaan akan lebih besar pada tanah dengan lereng yang lebih curam dan lebih panjang. Erosi tidak menjadi masalah pada daerah datar, akan tetapi apabila daerah mulai miring maka masalah pencegahan erosi menjadi serius.
Kelerengan lapangan dapat diketahui berdasarkan melihat peta topografi areal yang akan diamati atau bisa juga dengan melakukan pengukuran langsung di lapangan dengan menggunakan alat bantu untuk mengukur kelerengan seperti clinometer. Besarnya kelerengan ditentukan oleh jarak horizontal dan vertikal dari dua titik yang akan dicari kelerengannya. Untuk kelerengan bernilai 100% adalah kelerengan yang mempunyai sudut 45o.
3. Vegetasi
Beberapa pengaruh vegetasi terhadap erosi ialah sebagai intersep hujan oleh kanopi tanaman, mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air, pengaruh akar terhadap erositas dan kestabilan agregat tanah, pengaruh kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetasi dan pengaruhnya terhadap porositas tanah, serta proses transpirasi yang mengakibatkan keringnya tanah (Arsyad, 2007; Hardjowigeno, 2007).
Menurut Santosa (1985) vegetasi hanya akan efektif melindungi tanah dari erosi apabila tersusun oleh pohon-pohon yang membentuk strata tajuk, adanya tumbuhan bawah dan lapisan serasah. Tanaman perkebunan yang terdiri dari tanaman keras biasanya hanya membentuk satu stratum tajuk. Dengan demikian peranannya terhadap pencegahan erosi sangat ditentukan oleh adanya tumbuhan bawah.
4. Tanah
Tanah adalah suatu produk alami yang heterogen dan dinamis, maka sifat dan perilaku tanah akan berbeda dari suatu tempat ke tempat lain dan berubah dari waktu ke waktu. Setiap perbedaan sifat tanah akan menyebabkan perbedaan sifat tanah akan menyebabkan perbedaan nilai kepekaan erosi. Berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan yang berbeda-beda terhadap erosi. Kepekaan tanah yaitu mudah atau tidaknya tanah tererosi merupakan fungsi dari berbagai interaksi sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Sifat tanah yang penting pengaruhnya terhadap permukaan erosi terhadap kepekaan erosi dan limpasan permukaan adalah tekstur, struktur, kandungan bahan organik, kesarangan, kapasitas lapang, tebal dan sifat horizon serta kadar air tanah (Hardjowigeno, 2007).
5. Manusia
Manusia dapat mengubah tanah menjadi lebih baik atau lebih buruk, tergantung dari cara penggunaan dan pengolahannya. Pola tataguna lahan merupakan pencerminan kegiatan manusia di atasnya. Pengusahaan lahan tergantung pada tingkat penggunaan teknologi, tingkat pendapatan, hubungan antara masukan dan keluaran pertanian, pendidikan, penyuluhan, pemilikan lahan, dan penguasaan lahan. Oleh karena itu penggunaan lahan dapat bersifat membangun dapat juga bersifat merusak (Arsyad, 2007).
Pendugaan Erosi Tanah
Pendugaan erosi dari sebidang tanah adalah metode untuk memperkirakan laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang digunakan dalam suatu penggunaan lahan tertentu. Metode yang umum digunakan dalam prediksi erosi yaitu metode USLE yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978), dikenal dengan persamaan USLE yaitu:
A = R . K . L . S . C . P
dimana:
A  = banyaknya tanah tererosi  
         (t ha-1 th-1)
R  = faktor curah hujan dan aliran  
         permukaan
K  = faktor erodibilitas tanah
L   = faktor panjang lereng
S   = faktor kemiringan lereng
C  = faktor vegetasi penutup tanah dan
        pengelolaan tanaman
P   = faktor tindakan-tindakan khusus
         konservasi

Menurut Purwowidodo (1999) nilai faktor R dalam USLE adalah jumlah satuan-satuan indeks erosivitas hujan. Indeks erosivitas curah hujan ditetapkan berdasarkan ciri-ciri hujan di berbagai lokasi di Amerika Serikat dan negara lain, yang dinilai berkaitan erat dengan laju erosi tanah yaitu energi kinetik hujan (Ek) dan intensitas hujan maksimum dalam 30 menit (I30). Metode penghitungan erosivitas curah hujan tergantung pada jenis data curah hujan yang tersedia. Disarankan agar menggunakan rumus Bols jika diketahui jumlah curah hujan bulanan rata-rata, jumlah hari hujan dalam bulan tertentu, dan curah hujan harian rata-rata maksimal pada bulan tertentu. Rumus Lenvain digunakan apabila hanya tersedia data curah hujan bulanan rata-rata.
Faktor erodibilitas tanah (K) menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah tersebut oleh adanya energi kinetik air hujan. Meskipun besarnya resistensi tersebut di atas akan bergantung pada topografi, kemiringan lereng, dan besarnya gangguan. Tanah yang mempunyai erodibilitas rendah mungkin mengalami erosi yang berat jika tanah tersebut terdapat pada lereng curam dan panjang. Sebaliknya tanah yang mempunyai erodibilitas tinggi, mungkin memperlihatkan gejala erosi ringan atau tidak sama sekali bila terdapat pada lereng landai, penutupan vegetasi baik, curah hujan berintensitas rendah.
Pada prinsipnya sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erodibilitas tanah adalah sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas dan kapasitas tanah menahan air dan sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan struktur tanah terhadap dispersi, dan pengikisan oleh butir-butir air hujan dan aliran permukaan. Sifat-sifat tanah tersebut mencakup tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman tanah, sifat lapisan tanah dan tingkat kesuburan tanah (Veiche, 2002).
Dalam Purwowidodo (1999) disebutkan bahwa faktor-faktor topografi merupakan panjang lereng dan faktor kemiringan dalam USLE dapat ditetapkan secara terpisah sebagai nilai faktor L dan S, namun untuk berbagai pekerjaan lapangan yang lebih teknis faktor-faktor tersebut disatukan menjadi faktor LS. Nilai faktor L adalah perbandingan antara laju erosi tanah dari suatu lahan dengan panjang lereng tertentu dengan nilai laju erosi tanah dari suatu lahan dengan panjang lereng di petak standar (22,1 m). Nilai faktor S adalah perbandingan antara laju erosi tanah dari suatu lahan dengan kemiringan tertentu dan laju erosi tanah dari lahan dengan kemiringan lereng di petak standar (9%).
Faktor C menunjukkan keseluruhan pengaruh dari vegetasi, serasah, keadaan permukaan tanah, dan pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah yang tererosi. Oleh karenanya besarnya angka C tidak selalu sama dalam kurun waktu satu tahun. Ada sembilan parameter yang ditentukan sebagai faktor penentu besar nilai C, yaitu konsolidasi tanah, sisa-sisa tanaman, tajuk vegetasi, sistem perakaran, efek sisa perakaran dari kegiatan pengelolaan lahan, faktor kontur, kekasaran permukaan tanah, gulma dan rumput-rumputan (Asdak, 2006).
Pada dasarnya penentuan nilai C sangat rumit, karena harus mempertimbangkan sifat perlindungan tanaman terhadap erosivitas hujan. Sifat perlindungan tanaman harus dinilai sejak dari pengolahan tanah hingga panen, bahkan hingga penanaman berikutnya. Selain itu, penyebaran hujan selama satu tahun juga perlu memperoleh perhatian. Untuk mendapatkan nilai C tanpa mengurangi ketelitian prediksi erosi yang hendak dicapai dapat ditempuh cara dengan merujuk publikasi yang telah ada sesuai dengan kondisi Indonesia. Bila untuk sebidang lahan terdapat rotasi tanaman atau cara pengelolaan tanaman yang tidak tercantum dalam publikasi yang dirujuk, maka dapat ditempuh dengan memperhitungkan kembali nilai C tersebut berdasarkan nilai-nilai C pada publikasi rujukan. Nilai faktor tindakan konservasi tanah atau nilai faktor P dalam USLE adalah perbandingan nilai laju erosi tanah dari suatu lahan yang memperoleh tindakan konservasi tertentu terhadap laju erosi tanah lahan tersebut jika diolah mengikuti arah kemiringan lahan (Purwowidodo, 1999).

Kehilangan Hara Akibat Erosi
Erosi sangat merugikan produktivitas lahan karena dalam waktu relatif singkat, tanah lapisan atas yang subur hilang. Jika tanah yang hilang setebal 10 cm, maka produksi dapat menurun lebih dari 50% meskipun dilakukan pemupukan lengkap (Abdurachman dkk, 2003).
Dalam proses erosi, tanah yang terkikis dan terangkut adalah lapisan tanah atas yang merupakan sumber kehidupan tanaman karena hanya pada lapisan ini tanaman dapat memperoleh hara yang cukup. Dengan terangkutnya bahan organik dan partikel tanah yang halus oleh erosi, maka terjadi perubahan sifat tanah. Erosi tidak hanya berpengaruh terhadap kandungan organik tanah atas tetapi juga kandungan N, P, K, Ca, K dan lain sebagainya (Arsyad, 2007).
Jumlah hara yang hilang karena erosi sangat menarik. Kehilangan ini akan lebih besar dari jumlah yang diperkirakan karena zarah-zarah tanah halus yang mempunyai tingkat kesuburan lebih tinggi dari keseluruhan tanah yang terangkut oleh erosi. Ini berarti kehilangan yang dipercepat dari unsur kesuburan (Arsyad, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehilangan unsur hara N, P, K, Ca dan Mg dalam aliran permukaan pada areal hutan sekunder bekas terbakar nilainya lebih besar daripada areal hutan sekunder yang tidak terbakar. Kehilangan hara pupuk akibat erosi adalah sekitar 11% N yang diaplikasi, tetapi umumnya lebih rendah untuk unsur P, K, dan Mg. Fenomena kehilangan hara akibat erosi hampir sama dengan akibat aliran permukaan.  Perbedaannya adalah pada aliran permukaan, kehilangan hara dalam bentuk terlarut dalam air.  Sedangkan yang terjadi akibat erosi adalah kehilangan hara dalam bentuk yang terkandung dalam material tanah.  Jadi besar hara hilang sama dengan material tanah yang tererosi.  Erosi terjadi pada lapisan atas tanah yang subur (Waluyo, 2003).

Perkebunan Kelapa Sawit
Kebutuhan minyak nabati dan lemak dunia terus meningkat sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan domestik bruto. Jumlah penduduk di negara-negara kawasan Timur-Jauh sekitar 3,2 milyar atau 50% dari penduduk dunia. Di daerah inilah, tingkat pertumbuhan ekonomi Tahun 2008 hingga Tahun 2010 merupakan paling tinggi. Selain itu, konsumsi minyak per kapita penduduk di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara juga masih jauh di bawah rata-rata penggunaan minyak nabati dan lemak per kapita per tahun penduduk dunia (Pahan, 2008).
Menurut Pahan (2008), minyak kelapa sawit merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis karena merupakan bahan baku utama pembuatan minyak makan. Sementara, minyak makan merupakan salah satu dari 9 kebutuhan pokok bangsa Indonesia. Permintaan akan minyak makan di dalam dan luar negeri yang kuat merupakan indikasi pentingnya peranan komoditas kelapa sawit dalam perekonomian bangsa.
Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu pondasi bagi tumbuh dan berkembangnya sistem agribisnis kelapa sawit. Sistem agribisnis kelapa sawit merupakan gabungan subsistem sarana produksi pertanian (agroindustri hulu), pertanian, industri hilir, dan pemasaran yang dengan cepat akan merangkaikan seluruh subsistem untuk mencapai skala ekonomi (Pahan, 2008).
Kelapa sawit tumbuh dengan baik pada dataran rendah di daerah tropis yang beriklim basah, yaitu sepanjang garis khatulistiwa antara 23,50 lintang utara sampai 23,50 lintang selatan. Adapun persyaratan tumbuh pada tanaman kelapa sawit yaitu: curah hujan ≥ 2.000 mm th-1 dan merata sepanjang tahun dengan bulan kering ≤ 3 bulan, temperatur siang hari rata-rata 29 – 33 0C dan malam hari 22- 240C, ketinggian tempat dari permukaan laut < 500 m, dan matahari bersinar sepanjang tahun, minimal 5 jam per hari.

METODE PENELITIAN


Penelitian dilakukan di lahan perkebunan kelapa sawit Kecamatan Manuhing Kabupaten Gunung Mas.
Kegiatan penelitian ini berlangsung selama 3 bulan dan dilaksanakan sejak Bulan Maret 2012 hingga Mei 2012. Kegiatan tersebut meliputi persiapan penelitian, pengumpulan data primer dan sekunder, analisis dan interprestasi data serta penulisan laporan.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta jenis tanah, peta blok kebun, peta tutupan lahan, peta kontur, data curah hujan Tahun 2011, dan contoh tanah. Alat yang digunakan adalah ring sampler, bor tanah, GPS, klinometer, kamera, dan komputer. Adapun desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan cara survei lapangan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara dan analisis laboratorium.
Variabel dalam penelitian ini adalah erosivitas, erodibilitas, kelerengan, faktor tanaman dan konservasi tanah.
Metode penarikan sampel dalam penelitian ini dibagi berdasarkan kondisi lokasi tanaman diantaranya :
1.    Lokasi belum tanam (BT), terdiri atas 2 jenis kelerengan 0-8% dan 8-15%,
2.    Lokasi tanaman belum menghasilkan (TBM), terdiri atas 2 jenis kelerengan 0-8% dan 8-15%, serta umur tanaman yang berbeda ( 1 dan 2 tahun),
3.    Lokasi tanaman menghasilkan, terdiri atas 2 jenis kelerengan 0-8% dan 8-15%, serta umur tanaman yang berbeda ( 3 dan 4 tahun),
Setiap lokasi dilakukan pengambilan contoh tanah terusik (kandungan bahan organik, N, P, dan K, tekstur dan berat volume) dan tidak terusik (permeabilitas) untuk keperluan analisis di laboratorium. Untuk struktur, solum tanah, keadaan vegetasi dan konservasi tanah diamati di lapangan. Analisis kimia tanah (kandungan bahan organik, N, P, dan K) dilakukan di Lab. Analitik Universitas Palangka Raya, sementara untuk analisis tekstur, permeabilitas dan berat volume di analisis di Lab. Kimia, Fisika, dan Biologi Tanah Universitas Lambung Mangkurat.
Prediksi erosi (A) menggunakan persamaan USLE (Wischmeier dan Smith, 1978), yaitu:
A = R K LS C P
Dimana:
A  = banyaknya tanah tererosi (t ha-1 th-1),
R  = faktor erosivitas hujan,
K  = faktor erodibilitas tanah,
LS = faktor panjang dan kemiringan 
         lereng,
C   = faktor tanaman
P   = faktor konservasi tanah

Besarnya faktor erosivitas hujan (R) dihitung berdasarkan persamaan dari Lenvain berikut:

            R = 2,21 P1,36
Dimana:
R  = erosivitas hujan bulanan
P  = curah hujan bulanan (cm)
Besarnya faktor erodibilitas tanah (K) dihitung berdasarkan per(Hammer, 1980 dalam Dephut, 1998), sebagai berikut:
K = {2,71x(10-4)  M1.4 (12-a) + 4,2 (b-2) + 3,23 (c-3)} / 100
                K = erodibilitas tanah
           M = (% pasir sangat halus + % debu) x  
                   (100-% liat)
     a = persen bahan organik tanah (%)
     b = kode struktur tanah
     c = kelas permeabilitas tanah
Besarnya LS ditentukan berdasarkan Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007).
Penentuan faktor C dilakukan berdasarkan U.S. Department of Agriculture (1977), sementara untuk penentuan konservasi tanah berdasarkan Dephut (1998).
Jumlah erosi yang diperbolehkan dan penentuan tingkat bahaya erosi (TBE) dihitung berdasarkan metode Hammer (1981).
Potensi kehilangan hara N, P, dan K berdasarkan konversi dari hasil analisis laboratorium pada jumlah erosi total (Waluyo, 2003).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian


Prediksi Erosi
Prediksi erosi yang terjadi pada lokasi penelitian berkisar 9,26 ton/ha/tahun – 135,11 t ha-1 th-1. Adapun plot sampling TM1a memiliki nilai erosi terkecil sedangkan nilai erosi terbesar terjadi di BTb. Nilai erosi untuk masing-masing plot sampling dapat dilihat pada Tabel 1.
Untuk erosi total berkisar 24,08 - 220,23 t th-1, secara lengkap pada Tabel 2. 
Tabel 1. Nilai erosi pada lokasi penelitian
No
Lokasi
R
K
LS
C
P
A (t ha-1 th-1)
1.
BTa
1.805
0,11
0,25
0,4490
1,0
21,60
2.
BTb
1.805
0,14
1,20
0,4490
1,0
135,11
3.
TBM1a
1.805
0,15
0,25
0,2968
0,6
11,94
4.
TBM1b
1.805
0,18
1,20
0,2968
0,5
58,15
5.
TBM2a
1.805
0,18
0,25
0,3216
0,6
15,75
6.
TBM2b
1.805
0,18
1,20
0,3216
0,5
63,01
7.
TM1a
1.805
0,14
0,25
0,2464
0,6
9,26
8.
TM1b
1.805
0,11
1,20
0,2464
0,5
28,45
9.
TM2a
1.805
0,15
0,25
0,2536
0,6
10,20
10.
TM2b
1.805
0,15
1,20
0,2536
0,5
40,82



Tabel 2. Nilai erosi total
No.
Lokasi
Luas (Ha)
A (t ha-1 th-1)
Erosi Total (t th-1)
1.
BTa
3,23
21,60
69,77
2.
BTb
1,63
135,11
220,23
3.
TBM1a
3,00
11,94
35,82
4.
TBM1b
1,22
58,15
70,94
5.
TBM2a
2,75
15,75
43,31
6.
TBM2b
1,44
63,01
90,73
7.
TM1a
2,60
9,26
24,08
8.
TM1b
1,90
28,45
54,06
9.
TM2a
3,45
10,20
35,19
10.
TM2b
1,53
40,82
62,45

Total
22,75
394,29
706,58

Rata-rata
2,27
39,43


Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Penentuan tingkat erosi dilakukan dengan menggunakan data prediksi erosi yang diperoleh, kemudian dilihat kedalaman tanah pada nilai erosi yang dihasilkan untuk dibandingkan dengan nilai erosi yang diperbolehkan (Edp) sehingga bisa diklasifikasikan dalam kelas TBE. Tingkat erosi yang dihasilkan pada lokasi penelitian berkisar rendah sampai dengan tinggi. Adapun untuk kategori rendah yaitu pada TBM1a, TBM2a, TM1a, dan TM2a, sementara untuk BTa, TBM1b, TBM2b, TM1b dan TM2b tergolong sedang. Tingkat bahaya erosi yang dalam kategori tinggi terdapat pada lokasi BTb.  Adapun  tingkat erosi secara rinci terlihat pada Tabel 3.

 Tabel 3. Tingkat bahaya erosi pada lokasi  
              penelitian
No
Lokasi
Solum (cm)
Erosi (t ha-1 th-1)
Edp (t ha-1 th-1)
TBE
Kelas TBE
1.
BTa
82
21,60
18,84
1,15
sedang
2.
BTb
85
135,11
19,80
6,82
tinggi
3.
TBM1a
107
11,94
27,20
0,44
rendah
4.
TBM1b
110
58,15
14,72
3,95
sedang
5.
TBM2a
95
15,75
23,52
0,67
rendah
6.
TBM2b
113
63,01
25,92
2,43
sedang
7.
TM1a
94
9,26
24,00
0,39
rendah
8.
TM1b
97
28,45
24,96
1,14
sedang
9.
TM2a
102
10,20
24,16
0,42
rendah
10.
TM2b
99
40,82
24,48
1,67
sedang

Potensi Kehilangan Hara
Potensi kehilangan hara pada penelitian ini adalah dengan menggunakan asumsi bahwa erosi yang terjadi turut serta membawa hara baik melalui aliran permukaan maupun tanah yang tererosi. Adapun cara menghitung potensi kehilangan hara dengan mengkonversikan kandungan hara yang terdapat pada setiap plot sampling berdasarkan erosi total yang terjadi. Kehilangan hara N berkisar 35,2 – 374,4 kg, P berkisar 0,355,24 kg dan K berkisar 0,729,3 kg. Potensi kehilangan hara pada lokasi penelitian secara rinci dapat terlihat pada Tabel 4 .

Tabel 4. Potensi kehilangan hara akibat  
              erosi
No.
Lokasi
Erosi
(t ha-1 th-1)
Jenis Hara
Kehilangan hara (kg th-1)
N total
P tersedia
K dd
1.
BTa
69,77
132,6
1,69
11,5
2.
BTb
220,23
374,4
5,24
29,3
3.
TBM1a
35,82
39,4
0,83
2,4
4.
TBM1b
70,94
99,3
1,63
3,6
5.
TBM2a
43,31
77,9
0,79
1,2
6.
TBM2b
90,73
181,5
1,59
3,9
7.
TM1a
24,08
40,9
0,51
0,7
8.
TM1b
54,06
118,9
1,17
2,1
9.
TM2a
35,19
35,2
0,35
1,1
10.
TM2b
62,45
81,2
0,64
2,2

Total

1.181,3
14,4
58,0

 


Pembahasan
Prediksi erosi dari sebidang tanah adalah metode untuk memperkirakan laju erosi yang terjadi dari tanah untuk penggunaan dan pengelolaan tertentu. Berdasarkan prediksi erosi yang telah dilakukan seperti pada Tabel 16, ternyata bahwa besarnya erosi yang terjadi t ha th-1 (nilai A) pada setiap plot sampling adalah bervariasi . Hasil prediksi erosi ini jika dibandingkan dengan Firmansyah (2007), maka nilai rata-rata prediksi erosi di lokasi penelitian hasilnya lebih besar 2,5 kali. Hasil penelitian jika dibandingkan dengan prediksi PBS sebelumnya, maka 0,6 kali lebih kecil. Hasil perhitungan erosi dengan metode USLE menunjukkan bahwa 10% lahan di lokasi penelitian memiliki tingkat bahaya erosi tinggi, 40% rendah, dan 50% dalam kategori sedang. Faktor yang membedakan nilai prediksi erosi di lokasi penelitian adalah faktor K, LS, C, dan P. Sedangkan faktor R (indeks erosivitas hujan) nilainya sama pada seluruh titik pengamatan.
Dari 4 faktor yang membedakan nilai prediksi erosi di lokasi penelitian, maka faktor LS (kelerengan) sangat dominan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan hampir 5 kali lipat antara lokasi dengan kemiringan lereng 0-8% terhadap lokasi kemiringan lereng 8-15%. Hal itu sesuai dengan pendapat Firmansyah (2007) yang menyatakan kelerengan sangat berperan karena pergerakan air serta kemampuan memecahkan dan membawa partikel-partikel tanah akan bertambah dengan bertambahnya sudut ketajaman lereng. Faktor kedua setelah LS adalah konservasi tanah (P) pada lokasi penelitian khususnya antara lokasi belum tanam (BT) dimana belum ada usaha konservasi jika dibandingkan dengan TBM dan TM yang sudah ada usaha konservasi tanah yaitu dengan penanaman berdasarkan kontur. Pengelolaan tanaman (C) memegang peranan selanjutnya dalam menentukan besar kecilnya erosi. Keberadaan vegetasi di sekitar lokasi penelitian terutama berpengaruh karena vegetasi mampu menekan erosi. Pengaruh ini terutama ditentukan oleh jenis vegetasi, umur, perakaran, tajuk dan tinggi vegetasi. Pada lokasi BT jenis vegetasi lebih didominasi oleh vegetasi tanpa tajuk kelapa sawit berupa semak atau seresah yang belum membusuk, sementara pada TBM dan TM sudah ada tajuk kelapa sawit ditambah tumbuhan bawah penutup tanah. Jenis vegetasi ini mempengaruhi sampainya butiran hujan ke tanah sehingga sangat menentukan pukulan hujan terhadap tanah. Umur tanaman khususnya kelapa sawit sangat menentukan perlindungan terhadap tanah dari curah hujan terutama keberadaan tajuk sebagai kanopi bagi tanah. Semakin tua umur tanaman kelapa sawit, maka tanaman kelapa sawit akan bertambah tingginya serta kanopi yang dihasilkan juga cakupannya akan lebih luas. Faktor terakhir yang mempengaruhi erosi adalah erodibilitas tanah (K). Nilai K pada semua lokasi berharkat rendah sehingga faktor K pada lokasi penelitian merupakan faktor terkecil dalam mempengaruhi nilai erosi.
Salah satu faktor yang erat hubungannya dengan erodibilitas adalah keadaan tekstur tanah dan kandungan bahan organik. Tekstur tanah menentukan tata air dalam tanah yaitu berupa kecepatan permeabilitas dan kemampuan mengikat air oleh tanah. Pengaruh bahan organik pada aliran permukaan terutama memperlambat kecepatan aliran permukaan, meningkatkan infiltrasi tanah (Hardiyatmo, 2006). Kandungan bahan organik mempengaruhi kemantapan struktur tanah, oleh karena itu tanah dengan kandungan bahan organik tinggi memiliki struktur tanah yang mantap dan tahan terhadap erosi, sehingga bahan organik merupakan pelindung yang baik terhadap erosi. Menurut Hardjowigeno (2007) tanah dengan kandungan bahan organik kurang dari 2% umumnya peka terhadap erosi. Tanah pada lokasi penelitian sekitar 60% memiliki kandungan bahan organik di bawah 2%, hal tersebut dapat diartikan bahwa lokasi tersebut tergolong peka terhadap erosi.
 Erosi yang diperbolehkan dalam penelitian ini memiliki nilai rata-rata 0,5 kali lebih kecil dari nilai erosi yang diperbolehkan menurut Firmansyah (2007) yaitu 22,76 t ha-1 th-1 berbanding 45,36 t ha-1 th-1. Hal ini dapat dijadikan informasi jika di suatu lokasi pengukuran erosi memiliki laju erosi  bernilai kurang dari nilai Edp, maka lokasi pengukuran tersebut tidak diperlukan suatu tindakan konservasi tanah. Sebagai contoh adalah pada plot sampling BTb nilai laju erosinya adalah 135,11 t ha-1 th-1sementara nilai Edp adalah 19,80 t ha-1 th-1 artinya bahwa pada lokasi ini erosi yang terjadi sudah 6,8 kali lebih besar dari ambang erosi yang diperbolehkan dan membutuhkan tindakan konservasi tanah. Contoh lain adalah pada plot sampling TM2a, nilai erosi adalah 10,20 t ha-1 th-1 sementara nilai Edp adalah 24,16 t ha-1 th-1 artinya laju erosi 0,42 kali lebih kecil dibandingkan dengan erosi yang diperbolehkan, sehingga tidak diperlukan tindakan konservasi tanah.
Untuk menilai ancaman yang disebabkan erosi pada lokasi penelitian, menggunakan pendekatan Indeks Bahaya Erosi sebagai dasar, sehingga dapat ditentukan Tingkat Bahaya Erosi seperti pada Tabel 18. Lokasi dengan tingkat bahaya erosi tinggi terdapat pada BTb. Pada lokasi ini kemiringan lereng 12,5%, belum ada usaha konservasi dan penutupan tanah oleh tajuk tanaman kelapa sawit belum ada hanya berupa semak dengan tajuk daun lebar atau serasah yang belum membusuk sebesar 5% sementara lokasi dengan TBE yang rendah ada pada TBM1a, TBM2a, TM1a dan TM2a .
Lokasi penelitian yang termasuk dalam kategori sedang sampai dengan tinggi dalam Indeks Bahaya Erosi membutuhkan tindakan pengelolaan khususnya konservasi tanah. Ada 2 teknik konservasi tanah yang bisa dilakukan, yaitu secara fisik/mekanik dan vegetatif untuk lokasi penelitian ini. Menurut Dephut (1998) Indeks pengelolaan tanah yang bernilai 1 bisa dikurangi menjadi 0,5 bahkan 0,04 jika dalam rencana kegiatan perkebunan ini direalisasikan dengan penanaman tanaman leguminosa sebagai penutup lahan (vegetatif) serta penerapan teras bangku (mekanik). Ayudyaningrum (2006) menyatakan bahwa pembuatan teras gulud mampu menekan aliran permukaan sampai dengan 73% dan erosi 95%. Cara lain adalah seperti yang dikemukakan Murtilaksono et al. (2009), dimana penggunaan teknik mekanik berupa teras gulud dan rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal mampu menurunkan erosi 41,94%, sementara Lubis (2004) mengatakan bahwa teknik mekanik teras gulud, rorak dan mulsa vertikal mampu menekan aliran permukaan sampai 100%. Adapun contoh keberadaan teras gulud, rorak, dan mulsa vertikal.

Selain dengan pendekatan mekanik, menurut Putri (2003) cara konservasi dapat juga ditempuh dengan penggunaan vegetasi penutup tanah. Tanaman penutup tanah sering juga disebut tanaman pelengkap (smother crops), tanaman penutup tanah atau tanaman pesaing (competitive crops). Sebagai tanaman penutup tanah biasa digunakan tanaman kacang-kacangan (Leguminosae) karena selain dapat secara cepat menutup tanah juga mencegah perkecambahan dan pertumbuhan gulma. Selain itu dapat pula digunakan sebagai pupuk hijau.
Jenis-jenis yang biasa digunakan Calopogonium muconoides, Calopogonium caerelum, Centrosema pubescens, dan Pueraria javanica. Jenis-jenis ini dapat berkembang secara cepat dalam waktu 1-3 tahun setelah tanam, tetapi setelah itu cepat menjadi jarang kalau naungan pohon utama telah terbentuk (TBM sampai TM). Legume Cover Crops (LCC) berfungsi menahan pukulan hujan, menahan laju air limpasan, menambah N, menambah bahan organik, mengurangi pencucian unsur hara, dan menekan pertumbuhan gulma khususnya Imperata cylindrica dan Sorghum balepense.
Dampak erosi yang terjadi ternyata turut serta menyumbangkan penurunan produktivitas lahan khususnya keharaan tanah. Erosi yang terjadi menghilangkan lapisan tanah yang subur. Dimana hara yang diperlukan tanaman turut hilang bersamaan dengan kejadian erosi seperti pada Tabel 15, hal ini sejalan dengan pendapat Waluyo (2003) adanya kehilangan hara khususnya jumlah N yang relatif besar, diikuti jumlah P dan K yang lebih kecil. Berbeda dengan Waluyo, maka Sutono (2008) menyatakan bahwa kehilangan hara akibat erosi didominasi N khususnya N-organik karena hara ini termasuk memiliki mobilitas yang tinggi, selanjutnya K karena merupakan kation yang mudah tercuci, sementara P relatif sedikit hilang walaupun merupakan anion karena biasanya P terikat kuat dalam partikel tanah. Potensi kehilangan hara total berdasarkan erosi total terbesar adalah 374,4 kg th-1 untuk N setara dengan 831 kg Urea, untuk K adalah 29, 3 kg th-1 (K2O) setara dengan 33,4 kg 70,6 KCl, serta P sebesar 5,24 kg th-1 (P2O5) setara dengan 33,4 kg SP-36. 
Hara yang hilang terutama untuk P dan K dalam penelitian ini hanya pada kondisi hara tersedia, sebenarnya selain hara yang tersedia ada juga hara yang terikat kuat oleh partikel tanah. Kehilangan P-total nilainya berkisar 3-5 kali dari P tersedia, sementara K-total 1-4 kali dari K tersedia (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Mengingat besarnya potensi kehilangan hara akibat erosi terhadap produktivitas lahan, maka perlu dilakukan upaya konservasi tanah dengan mekanik dan vegetatif tadi serta menggunakan kembali sisa-sisa dari tanaman sawit sendiri seperti tandan kosong sawit, pelepah daun serta abu janjang kelapa sawit sebagai sumber hara dan bahan organik. Penggunaan pupuk sendiri tidak bisa dihindari dalam produksi kelapa sawit sehingga pemilihan jenis pupuk sebagai sumber hara bagi kelapa sawit sangat penting. Kondisi erosi yang menggerus hara bisa disikapi dengan penggunaan pupuk majemuk lambat tersedia (PMLT).
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah masih sempitnya interval besar kemiringan lereng (0-15%) dan variasi umur tanaman yang masih relatif muda (1-4 tahun) sehingga masih memungkinkan untuk diteliti lebih lanjut jika besar kemiringan lereng di atas 15% dan umur tanaman di atas 5 tahun apakah juga mempengaruhi erosi yang terjadi.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil analisis data dan pembahasan pendugaan erosi dan potensi kehilangan hara pada sistem usahatani kelapa sawit di Kecamatan Manuhing Kabupaten Gunung Mas berdasarkan faktor-faktor yang diamati, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Berdasarkan prediksi erosi yang dilakukan, nilai erosi (A) terbesar adalah 135,11 t ha-1 thn-1 dengan erosi total 220,23 t th-1, sementara erosi terkecil adalah 9,26 t ha-1 thn-1 dengan erosi total 24,08 t ha-1 thn-1.
b. Potensi kehilangan N terbesar adalah 374, 4 kg th-1 (setara 832 kg Urea), sementara 35,2 kg th-1 merupakan yang terkecil. Potensi kehilangan P terbesar adalah 5,24 kg th-1 (setara 33,4 kg SP-36), sementara terkecil 0,35 kg th-1. Potensi kehilangan K terbesar adalah 29,3 kg th-1 (setara 70,6 kg KCl) sementara terkecil sebesar 0,7 kg th-1.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka dapatlah disarankan sebagai berikut:
a. Perlunya dilakukan upaya pengelolaan konservasi tanah khususnya untuk lokasi yang tergolong erosinya sedang sampai dengan tinggi.
b. Secara umum penelitian ini memiliki keterbatasan terutama rentang kemiringan lereng dan umur tanaman sehingga diperlukan penelitian dengan variasi kemiringan lereng terutama untuk di atas 15% dan umur tanaman sampai dengan di atas 5 tahun.


DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., A.A. Id, dan Y. Soelaeman. 2003. Keragaan dan Dampak Penerapan Sistem Usaha Tani Konservasi Terhadap Tingkat Produktivitas Lahan Perbukitan Yogyakarta. Jurnal Litbang Pertanian 22 (2): 49-56

Arsyad, S. 2007. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

Asdak. 2006. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Ayudyaningrum, P. 2006. Pengaruh Jarak Simpanan Depresi Terhadap aliran Permukaan dan Erosi pada Tanah Latosol Darmaga. Skripsi. JurusanTanah. IPB.

BPS Kalteng. 2006. Kalimantan Tengah dalam Angka. Badan Pusat Statistik, Kalimantan Tengah. Palangka Raya

Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Gunung Mas. 2009. Luas dan Jenis Penggunaan Lahan di Kabupaten Gunung Mas.

Erfandi, D., I. Juarsah, dan U. Kurnia. 2001. Perbaikan sifat fisik tanah Ultisol Jambi, melalui pengelolaan bahan organik dan guludan. hlm. 171−180. Dalam A. Sofyan, G. Irianto, F. Agus, Irawan, W.J. Suryanto, T. Prihatini, M. Anda (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk, Cipayung, 31 Oktober−2 November 2000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Firmansyah, M. A. 2007. Prediksi Erosi Tanah Podsolik Merah Kuning Berdasarkan Metode USLE di Berbagai Sistem Usahatani. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 10 (1): 20-29.

Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Hardjowigeno, S dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Isa, A., F.S. Zauyah, dan G. Stoops. 2004. Karakteristik mikromorfologi tanah-tanah volkanik di daerah Banten. Jurnal Tanah dan Iklim 22: 1−14.
Latifah, S. 2003. Kegiatan reklamasi tanah pada bekas tambang. Tesis USU. Program Kehutanan. Jurusan Manajemen Hutan. Universitas Sumatera Utara

Lubis, A. 2004. Pengaruh Modifikasi Sistem Microcacthment terhadap Aliran Permukaan, Erosi serta Pertumbuhan dan Produksi Kacang Tanah pada Pertanian Lahan Kering. Skripsi. Jurusan Tanah. IPB.

Murtilaksono, K., W. Darmosarkoro, E.S. Sigit, H.H. Siregar dan Y. Hidayat. 2009. Upaya Peningkatan Produksi Kelapa Sawit melalui Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Air. J. Tanah Trop 14 (2): 135−142.

Pahan, I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.

Prasetyo, B.H., D. Subardja, dan B. Kaslan. 2005. Ultisols dari bahan volkan andesitic di lereng bawah G. Ungaran. Jurnal Tanah dan Iklim 23: 1−12.

Pujianto. 2001. Sistem pertanian berkelanjutan di Indonesia. http://www.hayati-ip6.com/rudyet/indiv 2001/pujianto.htm. 23 Januari 2012.

Purwowidodo. 1999. Konservasi Tanah di Kawasan Hutan. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.

Putri, L.A.P. 2003. Pengelolaan PenutupTanah. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1130/1/tanah-lollie.pdf. 15 Juli 2012

Rahim, S.E. 2003. Pengendalian Erosi Tanah: Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Bumi Aksara. Jakarta.

Santosa, W. 1985. Aliran Permukaan dan Erosi pada Tanah yang Tertutup oleh Tanaman Teh dan Hutan Alam di Gambung. Fakultas Pasca Sarjana IPB.

Soepraptohardjo, M. 1961. Tanah merah di Indonesia. Contr. Gen. Agric. Res. Sta. No. 161. Bogor.

Soil Survey Staff. 2003. Keys to Soil Taxonomy. USDA, Natural Research Conservation Service. Ninth Edition. Washington D.C.

Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah pertanian di  Indonesia. hlm. 21−66. Dalam A. Adimihardja, L.I. Amien, F. Agus, D. Djaenudin (Ed.). Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Suripin. 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit ANDI.Yogyakarta

Sutono, S. 2008. Kerugian Petani Akibat Erosi. Warta Sumberdaya Lahan 3(4): 1-2.

Veiche, A. 2002. The spatial Variability of Erodibility and Its Relation to Soil Types: A study from Northern Ghana. Geoderma 106: 100-120