Selasa, 04 Februari 2014

MURKA ALAM SINYAL KRISIS PANGAN

 
Swasembada pangan khususnya beras masih akan terus menjadi target penting dunia pertanian di Indonesia. Berbagai pengembangan iptek yang bertujuan untuk peningkatan produktivitas dalam rangka peningkatan produksi padi ternyata masih harus berlawanan dengan kondisi alam yang semakin lama semakin tidak ramah. Bukan hanya kepada manusianya tapi juga sektor pemenuhan kebutuhan manusia itu sendiri. 
Hal penting dalam pengembangan iptek adalah perilisan tanaman yang toleran dengan berbagai cekaman lingkungan (abiotic stress)termasuk kondisi kemarau maupun penghujan yang notabene ada defisit dan surplus air.
 Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan menyatakan saat ini Indonesia tidak perlu lagi impor beras karena negeri ini sudah swasembada komoditas pangan tersebut.
"Sebenarnya kita ini sudah swasembada beras, namun kita masih dituntut untuk bisa surplus beras hingga 10 juta ton pada akhir 2014 sebagai beras cadangan," tegas Rusman Heriawan di Malang, Rabu (2/10).

Ia mengemukakan kebutuhan beras untuk konsumsi rata-rata mencapai 33 juta ton per tahun, sedangkan produktivitas per tahun lebih dari 34 juta ton. Sebenarnya yang saat ini dikejar adalah untuk memenuhi target beras cadangan (surplus 10 juta ton), bukan masalah swasembadanya, sebab Indonesia sudah mampu memenuhi kebutuhan beras dalam negeri.
Target surplus 10 juta ton pada akhir 2014 tersebut, katanya, adalah kondisi "on top" yang ingin dicapai. Namun, saat ini Bulog sendiri justru kewalahan dengan cadangan berasnya di gudang yang cukup banyak.

Menyinggung puso ketika musim kemarau yang sedang berlangsung, Rusman mengatakan kurang dari satu persen. Lahan pertanian persawahan di Tanah Air saat ini mencapai 8,5 sampai 9 juta hektare.

Menurut Rusman, sebanarnya yang lebih membahayakan itu bukan puso ketika musim kemarau, tapi ketika musim hujan dan sering terjadi banjir. Jika puso karena kemarau, padi bisa dipanen lebih awal, sedangkan karena banjir justru tidak bisa diselamatkan.

Untuk mengganti kerugian petani yang terkena puso, katanya, pemerintah telah menganggarkan sebesar Rp2,7 juta per petani sebagai ganti bibit dan pengolahan.
"Tahun ini kita masih ganti secara tunai, namun tahun depan sudah mulai diberlakukan asuransi bagi petani yang preminya sebagian disubsidi oleh pemerintah," katanya.

Ia mengakui sebenarnya komoditas yang ditargetkan mampu swasembada ada lima, yakni beras, jagung, kedelai, daging, dan gula. Untuk komoditas beras tidak ada masalah, sedangkan jagung masih terkendala sistem distribusi akibat infrastruktur dan transportasi yang belum memadai.

Untuk komoditas kedelai, lanjutnya, masih cukup berat untuk merealisasikannya, sebab produksi dalam negeri baru mencapai 850 ribu ton, sementara kebutuhan rata-rata mencapai 2,5 juta ton per tahun.

Dalam kurun waktu satu tahun, tegasnya, sangat berat, bahkan tahun ini sudah terlambat, sebab saat ini sudah mulai memasuki musim hujan. "Pengadaan benih dan sistem pembenihan kedelai ini juga harus dibenahi," ujarnya.

Sementara untuk komoditas daging, kata Rusman, tidak mungkin kalau tidak impor karena populasi sapi potong maupun indukan di Indonesia masih sangat kurang. "Kalau swasembada gula, khususnya gula putih konsumsi sudah tidak ada masalah, namun untuk gula industri (untuk makanan dan minuman), 100 persen kita masih impor karena menggunakan gula rafinasi (raw sugar)," katanya.
Banjir yang melanda sejumlah daerah di Tanah Air mengakibatkan banyak area pertanian yang terendam dan kemungkinan terjadi gagal panen. Swasembada pangan beras bisa terancam gagal.
“Akibat bencana banjir ini panen rendengan akan berkurang, padahal panen rendengan memberikan distribusi  60 persen dari seluruh beras nasional yang berjumlah 40 juta ton tersebut,” kata anggota Komisi IV Siswono Yudho Husodo di Jakarta, Rabu (29/1).
Akibat  banjir tersebut akan berkurangnya produksi beras nasional, namun saat ini pemerintah bersama Komisi IV sepakat mengurangi kerugian petani akibat banjir tersebut yang berakibat terjadi puso.
Bagi sawah yang puso tersebut kami telah bersepakat menyediakan anggaran membantu petani dengan memberikan bantuan dari cadangan benih nasional yang masih tersedia, agar petani dapat menaman kembali sawah-sawahnya.
Mengenai pupuk, Siswono mengakui saat ini masih terkendala dan belum ada solusi karena anggaran masih sangat terbatas.
Kalau swasembada terancam tentu pemerintah terpaksa harus impor, namun dia mengatakan hingga saat ini yang boleh diimpor adalah beras merah, beras ketan.
Pengajaran alam kepada manusia menjadikan kita lebih bijak lagi untuk mengelola alam agar berkelanjutan karena ada tanggung jawab besar kita adalah mewariskan untuk generasi yang mendatang.