BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak lima belas tahun terakhir provinsi Kalimantan Tengah yang dulu dikenal sebagai daerah yang kaya akan hutan berubah menjadi daerah penghasil asap yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan gambut. Berbagai aktivitas pemanenan hutan, pengkonversian lahan menjadi lahan pertanian, perkebunan, pertambangan maupun untuk tujuan lainnya secara signifikan telah merusak ekosistem hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah. Contohnya adalah pengkonversian hutan rawa gambut yang meninggalkan permasalahan yang paling besar adalah pembukaan lahan sejuta hektar untuk areal pertanian yang dikenal dengan Mega Rice Project. Proyek ini membuka lebih dari satu juta hektar hutan gambut dan membuat kanal dengan total panjang mencapai lebih dari 40 ribu km. Keberadaan kanal – kanal tersebut pada akhirnya menyebabkan air yang tersimpan didalam gambut, pada musim kemarau keluar dan mengalir menuju ke sungai, sehingga gambut menjadi sangat kering dan mudah terbakar.
Menurut Usman (2009) kebakaran lahan dan hutan sebagai penyebab bencana asap di Provinsi Kalimantan Tengah setiap tahun menjadi sorotan publik luas, tidak saja dalam skala nasional tetapi internasional. Selain menimbulkan dampak turunnya kualitas lingkungan hidup kejadian ini juga telah menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit jumlahnya. Selain dampak yang dirasakan di dalam negeri, bencana Asap ini juga telah menuai kecaman dari pihak negara tetangga Malaysia dan Singapura yang juga merasakan dampak dari asap akibat kebakaran lahan di Provinsi Kalimantan Tengah.
Penyebab utama munculnya titik api di lahan dan hutan gambut dapat dipastikan adalah manusia. Aktivitas manusia seperti pembalakan liar yang meninggalkan api dalam kondisi masih hidup, sisa putung rokok yang dibuang sembarangan sampai dengan kegiatan pembersihan lahan menggunakan api merupakan penyebab – penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah. Khusus pembukaan lahan untuk pertanian, pembakaran ini dilakukan oleh para petani sebagai upaya untuk membersihkan lahan yang dianggap efektif dan efisien. Dengan membakar lahan maka pekerjaan menjadi lebih cepat, mudah, dan murah. selain itu sisa abu pembakaran dapat digunakan sebagai zat yang dapat menaikkan ph tanah yang bersifat asam. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya beberapa perusahaan perkebunan yang melakukan kegiatan land clearing dengan sistem pembakaran.
Untuk menghadapi masalah kebakaran lahan dan hutan gambut di Kalimantan Tengah, pemerintah pusat dan daerah serta pihak – pihak terkait telah melakukan berbagai upaya pencegahan maupun penanggulangan. Secara garis besar upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan gambut yang telah dilaksanakan, dapat dibagi menjadi dua yaitu pemadaman jalur darat dan pemadaman jalur udara. Pemadaman jalur darat dapat dikatakan sebagai jenis pemadaman konvensional atau semi konvensional karena lebih mengandalkan tenaga manusia dengan dukungan tenaga mesin. Sedangkan pemadaman jalur udara umumnya menggunakan pemanfaatan teknologi modern seperti penyemaian awan untuk menghasilkan hujan dan penggunaan helikopter untuk penerapan teknik bom air skala besar.
Sampai saat ini kedua tipe pemadaman tersebut telah diterapkan di Kalimantan Tengah, sayangnya dalam penerapan di lapangan, koordinasi dari kedua upaya ini belum dilakukan secara maksimal. Makalah ini mencoba membahas mengenai pemadaman jalur darat dan udara, dan mencoba membandingkan efektifitas dan efesiensi penggunaan kedua metode ini, terutama dari segi pembiayaan dengan harapan dapat menjadi masukan dalam pelaksanaan pemadaman kebakaran lahan dan hutan di Kalimantan Tengah.
B. Rumusan Masalah
Dari berbagai upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang telah dilaksanakan di Kalimantan Tengah, perlu dilakukan diketahui tingkat efektivitas dan efisiensi dari setiap tipe kegiatan pemadaman.
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi dari tipe pemadaman darat dan pemadaman udara, sehingga dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pihak yang memerlukan terkait dengan upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Tengah.
BAB II. GAMBARAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
DI KALIMANTAN TENGAH
A. Profil Kalimantan Tengah
Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi terluas nomor tiga di Indonesia dengan luas sekitar 153.364 km2 setelah Papua dan Kalimantan Timur. Kalimantan Tengah terdiri dari hutan belantara 126.200 Km², rawa 18.115 Km², sungai, danau dan genangan 4.563 Km², tanah lainnya 4.686 Km². Posisinya yang berada ditengah-tengah Pulau Kalimantan, provinsi ini dijadikan interconnection dengan daerah lain di Pulau Kalimantan. Provinsi ini mempunyai tiga belas kabupaten dan satu kotamadya.
Secara astronomis, Kalimantan Tengah terletak di garis Khatulistiwa pada posisi 111⁰ -115⁰dan 0 ⁰45’ Lintang Utara-3 ⁰ 30’ Lintang Selatan. Karakteristik iklim di provinsi ini beriklim tropis lembab dan panas dengan klasifikasi Kopen Afa. Suhu udara rata-rata 29⁰ Celcius. Curah hujan rata-rata setahun 2.732 milimeter dengan rata-rata hari hujan 120 hari. Klasifikasi curah hujan Schmidt dan Ferguson adalah Tipe –A (Q=14,3%) dan tipe-B )Q=33,3%) makin keutara curah hujan makin tinggi. Provinsi Kalimantan Tengah yang pada Maret 2010 jumlah penduduknya sekitar 2.528.882 jiwa ini, salah satu ciri khasnya adalah hampir seluruhnya dialiri sungai besar dan kecil. Dengan sebelas sungai besar dan sekitar 33 sungai kecil, provinsi ini memiliki potensi alam yang cukup kaya untuk dikembangkan. Bagian Utara provinsi ini terdiri dari Pegunungan Muller Swachner dan perbukitan, bagian Selatan berupa dataran rendah, rawa dan paya-paya. Berbatasan dengan tiga Provinsi Indonesia, yaitu Kalimantan Timur, Selatan dan Barat serta Laut Jawa.
Keberadaan sebaran gambut di Kalimantan Tengah berpengaruh terhadap perkembangan provinsi ini, dengan luas areal gambut sebesar 3.010.640 ha yang merupakan 52,18 % dari total luas lahan gambut di Pulau Kalimantan, menyebabkan provinsi ini kaya akan keankeragaman hayati. Selain itu ragam wilayah seperti pantai, bukit, dataran rendah dan paya yang juga memperkaya nilai plasma nuftah Kalimantan Tengah. Salah satu jenis fauna endemik Kalimantan Tengah adalah Orang Utan yang saat ini keberadaannya mulai terancam, selain itu terdapat beruang, landak, owa-owa, beruk, kera, bekantan, trenggiling, buaya, kukang, paus air tawar (tampahas), arwana, manjuhan, biota laut, penyu, bulus, burung rangkong, betet/beo dan hewan lain yang bervariasi tinggi. Potensi alam lainnya seperti emas, batubara, zirkon dan bijih besi juga terdapat di provinsi ini.
Dari segi lingkungan, Kalimantan Tengah cukup menjadi sorotan dunia internasional, dikarenakan kebakaran hutan dan lahan gambut yang acapkali terjadi yang diketahui melepaskan karbon dalam jumlah besar dan berkontribusi terhadap laju pemanasan global. Saat ini Kalimantan Tengah menjadi lokasi pertama pelaksanaan program Reduce Emission From Degradation and Deforestation (REDD).
B. Potret dan Pola Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Tengah
Kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah umumnya terjadi didaerah bergambut di Kalimantan Tengah. Dalam sejarahnya kebakaran hutan, kebakaran hutan tropika basah di Kalimantan diketahui terjadi sejak abad ke-19, yakni di kawasan antara Sungai Kalinaman dan Cempaka (sekarang Sungai Sampit dan Katingan) di Kalimantan Tengah, yang rusak akibat kebakaran hutan tahun 1877. Namun seiring dengan pengkonversian hutan secara berlebihan maka kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah terjadi secara berlebihan.
Kebakaran lahan dan hutan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah hampir merata di setiap kabupaten, berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan diketahui bahwa kebakaran yang terjadi sebagai akibat pembukaan lahan pertanian baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh perusahaan perkebunan yang melakukan land clearing. Data penyebaran hotspots (Satelite NOAA-18) di Propinsi Kalteng untuk setiap tahun selama kurun waktu lima tahun terakhir (2006-2010) dapat dilihat berikut ini:
Tabel 1. Jumlah Sebaran Titik Panas Propinsi Kalteng Per-Kabupaten Yang Terpantau Pada Stasiun Bumi Satelit NOAA Kementerian Kehutanan Tahun 2006 - 2010
Sumber: Balai KSDA Kalteng, 2011 |
Data di atas menunjukan bahwa titik panas dalam kurun waktu lima tahun terakhir di Kalimantan Tengah masih didominasi oleh Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dan Seruyan, serta disusul kabupaten-kabupaten lain seperti: Kotawaringin Barat, Pulang Pisau, Katingan, dan Kapuas. Kondisi ini jika data hotspot ini diasumsikan sebagai kebakaran yang terjadi di tingkat lapangan, maka dapat dapat diidentifikasi bahwa kebakaran lahan dan hutan di Kalimantan Tengah masih didominasi pada daerah lahan gambut.
Sedangkan data sebaran titik panas di Propinsi Kalteng dilihat dari status kawasan selama tahun 2006-2008 yang memiliki fluktuasi tertinggi terjadinya kebakaran lahan dan hutan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. Data Sebararan Titik Panas di Propinsi Kalteng dilihat dari Status Kawasan Yang Terpantau Pada Stasiun Bumi Satelit NOAA Kementerian Kehutanan Tahun 2006 – 2008 (sumber : Balai KSDA Kalteng, 2011)
Dari data sebaran hotspot berdasarkan status kawasan, maka diketahui bahwa lokasi kebakaran yang paling banyak terjadi adalah pada Kawasan Pengembangan Produksi (KPP), Hutan Produksi (HP), Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lain (KPPL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Kawasan Gambut Tebal (KGT). Kondisi ini menunjukan bahwa daerah-daerah yang sering terjadi kebakaran lahan dan hutan adalah daerah-daerah yang dekat dengan aktifitas masyarakat atau perusahaan pemegang hak konsesi.
Applegate, G. dalam Cifor (2001) mengatakan bahwa terdapat perbedaan pemahaman penyebab yang mendasari terjadinya kebakaran. Departemen Kehutanan, misalnya, menyalahkan para peladang berpindah sebagai penyebab kebakaran di Kalimantan. Di pihak lain, para pecinta lingkungan hidup menyebutkan bahwa kebakaran-kebakaran yang terjadi merupakan akibat pengelolaan hutan yang buruk.
Upaya menyalahkan perladangan tradisional (ladang berpindah) adalah sangat tidak beralasan. Hal ini dapat dipahami bahwa kegiatan tradisional tersebut telah lama diakukan oleh masyarakat tradisional dengan kearifan lokalnya tidak pernah terjadi kebakaran besar, mesikpun pada masa itu juga telah terjadi el Nino. Untuk mengetahui pola dan tingkat kerawanan kebakaran Propinsi Kalteng dapat dilihat melalui sebaran daerah rawan kebakaran sebagaimana tergambar di peta berikut:
Peta Pola Sebaran Titik Rawan Kebakaran Lahan dan hutan Provinsi Kalteng
Selain itu berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan (2011) lokasi kejadian kebakaran lebih banyak terjadi di luar kawasan hutan. Data persentase lokasi kejadian kebakaran hutan di Indonesia termasuk Provinsi Kalteng sebagaimana data berikut :
BAB III. PEMBAHASAN
A. Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan
Menurut Saharjo et al (1999) Pengendalian kebakaran hutan merupakan semua aktivitas untuk melindungi hutan dari kebakaran liar dan penggunaan api untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pengelolaan hutan.
Pengendalian kebakaran lahan dan hutan terdiri dari tiga komponen yaitu upaya pencegahan, pemadaman dan pasca kebakaran. Secara singkat masing – masing fase tersebut dijabarkan berikut ini :
1. Upaya Pencegahan
Menurut UU No 45 Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan secara terpadu dari tingkat pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan pengelolaan hutan. Seperti yang diketahui bersama, proses pembakaran terjadi akibat adanya komponen segitiga api yang saling berinteraksi satu sama lain, yaitu bahan bakar, sumber panas yaitu api dan oksigen. Sehingga konsep untuk mencegah terjadinya kebakaran adalah dengan menghilangkan komponen dari segitiga api tersebut, sehingga hal yang dapat dilakukan adalah mencegah munculnya sumber panas dalam hal ini api atau mengurangi akumulasi bahan bakar.
Ada berbagai macam strategi pencegahan kebakaran yang telah di kembangkan dan diterapkan, antara lain :
· Pemetaan daerah rawan kebakaran yang dapat dibuat berdasarkan hasil olah data sejarah kebakaran dari masa lalu yang dapat dibuat dengan dukungan teknologi seperti penggunaan Global Positioning System atau Citra Satelit.
· Pendekatan sistem informasi kebakaran. Informasi kebakaran atau peluang terjadinya kebakaran apabila terdistribusi dengan baik kepada pihak – pihak terkait akan menjadi salah satu keberhasilan dalam upaya pencegahan. Secara konvensional sistem informasi ini dilaksanakan dengan sistem pemantauan langsung di daerah – daerah rawan kebakaran seperti pembangunan menara – menara pemantau titik api. Berkembangnya teknologi modern, juga dimanfaatkan untuk menghasilkan suatu sistem informasi Saat ini dengan bantuan teknologi modern seperti pengindraan jauh, internet, komputerisasi dan telekomunikasi, beberapa sistem informasi kebakaran telah dikembangkan dengan memperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kebakaran (bahan bakar, klimatologi dan perilaku kebakaran). Sistem tersebut antara lain Sistem peringatan dini yang dikembangkan dengan menggunakan data cuaca harian sebagai dasar untuk menghitung indeks kekeringan yang menggambarkan tingkat kelembaban tanah. Nilai indeks kekeringan dapat diperoleh dengan ketersediaan data curah hujan, suhu, kelembaban dan kecepatan angin. Ada pula Sistem pemantauan titik panas, yang dikembangkan dengan metode penginderaan jarak jauh menggunakan satelit untuk mendeteksi titik panas. Data titik panas tersebut dapat digunakan sebagai salah satu indikator terjadinya kebakaran untuk selanjutnya dapat ditindak lanjuti dengan pengecekan di lapangan. Salah satu satelit yang sering digunakan adalah satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), satelit ini memiliki sensor yang dapat membedakan suhu permukaan di laut maupun di darat, disisi lain satelit ini memiliki daerah cakupan yang cukup luas dan mengujungi tempat yang sama sebanyak 4 kali sehari. Namun NOAA juga memeliki kelemahan antara lain sensornya yang tidak mampu menembus awan dan asap, sehingga kemungkinan jumlah titik panas yang terdeteksi tidak sebanyak yang ada di lapangan. Ditambah pula dengan resolusi yang rendah sehingga kemungkinan kesalahan penentuan lokasi titik panas sangat mungkin terjadi. Hasil data NOAA perlu untuk di digabungkan dengan peta rawan kebakaran yang tentu saja didukung dengan cek lapangan. Saat ini NASA telah meluncurkan satelit MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectro-Radiometer) yang memiliki resolusi 16 kali lebih detail dari satelit NOAA.
· Pendekatan Sosial Ekonomi masyarakat, pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan masyarakat lokal di area rawan kebakaran sebagai ujung tombak kegiatan pencegahan. Dengan sistem pemberian insentif dan atau memfasilitasi masyarakat untuk mengelola lahan yang rawan terbakar sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki sehingga kegiatan pencegahan kebakaran bukan lagi suatu paksaan tetapi sesuatu yang kewajiban yang dilakukan masyarakat dengan sukarela.
· Penyadartahuan
Kegiatan penyadartahuan akan bahaya kebakaran hutan dapat dilakukan dengan melaksanakan kegiatan sosialisasi di setiap lapisan masyarakat dan juga pemerintahan. Beberapa tahun terakhir pemerintah dan lembaga – lembaga terkait telah melakukan kegiatan penyadartahuan akan bahaya kebakaran hutan dan lahan. Mulai dari kegiatan sosilalisasi dari tingkat desa sampai ke pemerintahan, sampai dengan memasukan tentang kebakaran hutan kedalam kurikulum pendidikan.
2. Pemadaman
Upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah dapat dikelompokkan menjadi pemadaman jalur darat dan pemadaman jalur udara.
Pemadaman Darat
Pemadaman darat adalah tahap pertama yang dilakukan pada saat kebakaran hutan dan lahan terjadi di Kalimantan Tengah, pemadaman darat dilakukan oleh regu pemadam kebakaran yang berasal dari pemerintah daerah maupun dari lembaga – lembaga terkait. Pemadaman darat terbagi menjadi pemadaman semi mekanis dan mekanis, dimana pemadaman semi mekanis adalah pemadaman yang mengunakan peralatan semi modern sedangkan pemadaman mekanis adalah pemadaman yang menggunakan peralatan modern. Walaupun menggunakan peralatan berbasis teknologi seperti pompa air dan mobil tangki air tetapi tenaga manusia masih dalam skala besar tetap sangat dibutuhkan.
Beberapa Regu Pemadam Kebakaran telah dibentuk di Kalimantan Tengah sejak bencana kebakaran hutan dan lahan sering terjadi, seperti Regu Manggala Agni dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKDSA) Kalimantan Tengah dan Tim Serbu Api (TSA) yang dibentuk oleh Centre For International Co-Operation In Management Of Tropical Peatland (CIMTROP), Universitas Palangka Raya pada tahun 1997.
Gambar 1. Pemadaman Darat Oleh Regu Manggala Agni (Sumber gambar: BKSDA, 2009)
Dalam pelaksanaan kegiatan pemadaman darat di lapangan, TSA menggunakan strategi pemadaman sebagai berikut (Limin et all , 2006):
· Untuk efesiensi dalam bekerja, anggotas TSA harus tinggal dan menginap di camp sementara yang berdekatan dengan titik api
· TSA menentukan titik api prioritas dan pengamatan terhadap pergerakan api, misalkan dengan memanjat pohon setinggi 12 – 20 meter dari permukaan.
· Transek dibuat sepanjang 20 – 100 meter atau secukupnya dari titik api, tergantung dengan tipe vegetasi sekitar dan kecepatan penyebaran api.
· Pada saat salah satu grup membuat transek, anggota lainnya melakukan kegiatan pembuatan sumur bor untuk memperoleh air bawah tanah.
· Koordinasi dilakukan untuk menentukan jarak antar sumur bor yang akan dibuat
· Sepanjang transek, sumur bor dibuat setiap 300 – 500 meter, tergantung dengan kondisi lapangan.
· Transek harus selalu dipenuhi dengan air untuk mencegah api menjalar melalui lapisan gambut
· Selanjutnya baru TSA bisa memulai untuk melakukan pemadaman didalam area transek
· TSA dibagi menjadi 2 – 4 grup untuk bekerja pada saat sore dan malam atau pada waktu lainnya tergantung dari tingkat ancaman kebakaran. Di kondisi tertentu, pemadaman harus dilaksanakan selama 24 jam tanpa henti oleh 4 grup secara bergantian.
· Setiap grup dari 5 – 7 anggota TSA, dilengkapi dengan 3 hand radios, yang ditugaskan untuk mengoperasikan satu mesin pompa dengan selang air sepanjang 200 – 400 meter.
· Kayu mati yang masih berdiri ditebang dengan menggunakan mesin potong (chainsaw) karena bara api dapat memfasilitasi penyebaran api ke daerah yang lebih besar
Gambar 2. Anggota TSA sedang melaksanakan kegiatan pemadaman (sumber gambar: CIMTROP)
Pemadaman Udara
Pemadaman udara dilakukan dengan menggunakan dua metode yang berbeda yaitu bom air (water bombing) dan penyemaian awan (could seedling) untuk memancing terjadinya hujan.
· Bom air (water bombing)
Pemadaman kebakaran menggunakan sistem bom air dilakukan dengan menggunakan helikopter jenis Kamov Ka-32 A dengan menggunakan Water Bambi Bucket yang berupa eksternal tank. Proses pengambilan air oleh Kamov dari sumber air terbilang sangat singkat yaitu kurang dari 60 detik, dengan kapasitas air yang dapat di angkut menggunakan bambi bucket sebanyak 4,500 liter. Kelebihan helikopter adalah dapat membom air dari ketinggian yang lebih rendah dengan kecepatan yang juga rendah dibandingkan pesawat, sehingga lebih tepat mengenai target api yang dituju. Namun jarak tempuhnya apabila dibandingkan dengan pesawat lebih sedikit sehingga apabila kebakaran terjadi di daerah yang jauh dari sumber air maka akan cukup menyulitkan upaya pemadaman.
Gambar 3. Helikopter Kamov yang digunakan untuk pemadaman kebakaran hutan di Kalimantan Tengah tahun 2009 (sumber gambar: BNPN, 2009)
Gambar 4. Bagan helikopter Kamov, bagan fire fighting merupakan desain Kamov yang digunakan untuk kegiatan bom air (sumber gambar : http://aerostarjet-aviation.com/firefighting)
· Penyemaian awan (could seedling)
Penyemaian awan dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan peluang terjadinya hujan dan mempercepat terjadinya hujan, di Indonesia metode ini dikenal dengan nama Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Dengan menggunakan bahan higroskopik seperti Urea, CaCl2 dan NaCl, proses tumbukan dan penggabungan awan dapat terjadi lebih cepat sehingga hujan dapat terjadi lebih awal, lebih lama dan daerah hujan pada awan lebih luas. Bahan higrokopis biasanya digiling halus dan berikan bahan anti gumpal, selanjutnya dikemas dalam plastik kedap udara seberat 10 kg. Pesawat kemudian terbang menuju awan kumulus yang berkembang dengan ciri penampilan berbentuk seperti bunga kol, dengan dasar tidak lebih tinggi dari 5.000 kaki dan puncaknya lebih tinggi dari 11.000 kaki. Pada saat pesawat berada didalam awan pesawat melepaskan bahan higrokospis, kegiatan ini lah yang disebut dengan penyemaian awan. Dalam penerapan metode ini untuk memadam kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah, jenis pesawat yang digunakan yaitu pesawat Casa 212 dan Hercules 130.
Pesawat terbang yang biasa digunakan untuk operasi hujan buatan di Indonesia adalah jenis pesawat Cassa NC 212-200 milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Pesawat yang digunakan telah dimodifikasi dari versi pesawat penumpang menjadi versi pesawat penyemai awan. Kedua versi ini telah mendapatkan sertifikat, sehingga tiap pesawat Cassa NC 212-200 BPPT telah memiliki 2 (dua) buah Certified of Airworthiness (C of A), yaitu C of A untuk pesawat penumpang (Passenger Version) dan C of A untuk pesawat penyemai awan (Rain Maker Version). Saat berfungsi sebagai pesawat penyemai awan, beberapa bagian dalam pesawat Cassa NC 212-200 dimodifikasi, yaitu:
1. Pembuatan lubang dengan diameter 30 cm pada bagian lantai.
2. Pemasangan airscooper yaitu outlet bercabang dua untuk saluran pengeluaran bahan semai, pada bagian bawah perut pesawat.
3. Pemasangan chimney, yaitu dudukan airscooper, di bagian dalam pesawat tepat pada lantai yang telah dilubangi.
4. Pembalutan bagian dalam pesawat dengan inner cover untuk menghindarkan agar bubuk bahan semai yang digunakan tidak mengenai body pesawat (mencegah korosi).
Kecepatan maksimal pesawat ini adalah 370 km/j dengan jarak tempuh 1.422 km, ketinggian maksimal 7.925 m atau sekitar 26.000 kaki dengan daya tanjak 497 m/menit. Dalam melaksanakan penyemaian awan pesawat ini mampu mengangkut hampir 1 ton garam dengan rentang waktu penyemaian sekitar 45 menit, dimana dalam satu hari dapat dilakukan 3 – 4 kali penyemaian awan.
Gambar 6. Pesawat Casa 212 yang digunakan BPNP dalam penerapan TMC (sumber gambar: idkf.bogor.net)
Gambar 7. Pesawat Casa 212 sedang melakukan aktivitas penyemaian awan (sumber gambar: BPPT)
Hercules C 130 merupakan adalah sebuah pesawat terbang bermesin empat turboprop yang awalnya digunakan untuk mengangkut pasukan militer atau pesawat cargo di banyak bagian dunia. Namun dengan kemampuan mendarat dan lepas landas dari runway yang pendek atau tidak disiapkan, sekarang ini Hercules C-130 juga digunakan untuk berbagai macam peran, termasuk infantri airborne, pengamatan cuaca, pengisian bahan bakar di udara, pemadam kebakaran udara, ambulans udara dan juga dalam Tehnik Modifikasi Cuaca (TMC). Panjang pesawat Hercules C-130 mencapai 29,8 meter, rentang sayap 40,4 meter dengan kapasitas yang dapat diangkut mencapai 33.000 kg. Sumber tenaganya berasal dari empat buah mesin turbopop, dengan kecepatan maksimum 329 knot atau 610km/h dengan ketinggian terbang 10.000 m. Dalam satu kali terbang pesawat ini mampu mengangkut 10 ton garam penyemai awan.
Gambar 8. Pesawat Hercules C-130 milik TNI AU yang dialihfungsikan sebagai pesawat penyemai awan (sumber: http://www.indoflyer.net)
3. Pasca Kebakaran
Tindakan pasca kebakaran yang pertama kali perlu perlu dilakukan adalah inventarisasi luas daerah kebakaran guna membantu pembuatan peta rawan kebakaran, selanjutnya adalah tindakan rehabilitasi lahan. Sebelum dilakukan tindakan rehabilitasi lahan bekas terbakar perlu dilakukan kegiatan survei untuk mengetahui hal – hal yang berpengaruh terhadap keberhasilan kegiatan rehabilitasi seperti topografi, kondisi genangan, kondisi tanah gambut, potensi permudaan, bahan tanaman dan potensi sumber daya manusia yang ada disekitar lahan tersebut. Berdasarkan survei tersebut dapat ditentukan tindakan silvikultur yang dapat diambil. Dalam melaksanakan rehabilitasi lahan bekas terbakar beberapa hal penting yang harus diperhatikan adalah :
· Kondisi hidrologis lahan, apabila dipandang perlu dilakukan restorasi hidrologi terlebih dahulu
· Menggunakan tanaman endemik lahan gambut yang sesuai dengan kondisi lahan
· Melibatkan masyarakat, karena masyarakat adalah pihak yang pertama kali bersinggungan dengan lahan
Kegiatan pasca kebakaran lainnya adalah upaya yuridikasi, seperti melaksanakan kegiatan investigasi untuk mengetahui pihak yang bertanggung jawab, bagaimana proses kebakaran berlangsung dan kerugian yang ditimbulkan. Tidak dipungkiri upaya yuridikasi cukup sulit untuk diterapkan dilapangan, untuk itu diperlukan koordinasi yang baik antara pihak – pihak terkait.
B. Efektivitas dan Efisiensi Metode Pemadaman
Dana adalah salah satu permasalahan utama yang harus dihadapi setiap kali bencana kebakaran hutan dan lahan terjadi di Kalimantan Tengah, cakupan area yang terbakar yang luas dan jauh dari akses jalan menjadi salah satu penyebab utama mengapa biaya kegiatan pemadaman menjadi sangat mahal. Tentu saja biaya pemadaman jalur darat lebih rendah daripada jalur udara, sebagai gambaran Regu pemadam Manggala Agni BKSDA Kalimantan Tengah memerlukan dana operasional sekitar satu juta rupiah setiap harinya, dengan total anggota 15 orang dan kemampuan pemadaman mencapai 5 ha/hari pada lahan gambut. Demikian pula dengan Tim Serbu Api milik CIMTROP Universitas Palangka Raya dengan jumlah anggota satu regu pemadam sebanyak 30 orang, regu pemadam ini memerlukan dana sekitar Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah) perharinya untuk full time fighting action, atau sekitar Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta) per bulan nya, dimana dana tersebut telah mencakup biaya penyediaan material, makanan, transportasi, obat-obatan, insentif anggota regu dan juga asuransi. Dengan anggota 30 orang dalam waktu dua minggu kerja, TSA mampu membuat 2 km transek yang berfungsi sebagai fire block/sekat bakar, 7 -8 sumur bor sumber air dan mampu memadamkan kebakaran seluas 10 – 20 ha. Tentu saja keterbatasan dimiliki oleh tim jalur darat karena acapkali kebakaran terjadi dilokasi yang jauh dari akses jalan sehingga menyulitkan saat pemadaman. Apabila ditemukan kondisi seperti itu, tampaknya pemadaman melalui jalur udara adalah alternatif yang bisa ditempuh, tetapi tentu saja pemadaman ini memerlukan dana yang sangat besar. Contohnya pada bulan Oktober - November 2009, untuk menanggulangi kebakaran gambut yang meluas di Kalimantan Tengah, pemerintah mengambil kebijakan dengan menyewa sebuah helikopter Kamov selama 50 hari dengan total jam terbang 150 jam yang berhasil melakukan 1.735 kali pengemboman dengan kapasitas satu kali pengeboman sebanyak kurang lebih 4,500 liter air. Dengan biaya sewa Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta) perjam, diperkirakan total dana yang dikeluarkan pemerintah untuk pengoperasionalan helikopter ini mencapai Rp. 6.000.000.000,- (enam milyar rupiah) atau sekitar Rp. 3.600.000.000,- (tiga milyar enam ratus juta rupiah) per bulannya.
Sedangkan untuk pengoperasional pesawat Cassa 212, pada tahun 2011 ini diperlukan dana sebesar Rp. 10.100.000.000,- (Sepuluh koma satu milyar rupiah) untuk pengoperasian 3 buah pesawat Cassa 212, yang melakukan paya pemadaman di tiga provinsi yaitu Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah, selama 30 hari kerja. Dapat diestimasikan pengoperasian satu buah pesawat Cassa 212 selama 30 hari menghabiskan dana sebesar Rp. 3.360.000.000, - (tiga milyar tiga ratus enam puluh juta rupiah) atau sekitar Rp. 112.000.000,- (seratus dua belas juta rupiah) perhari nya. Untuk pesawat Hercules C-130 menghabiskan biaya sekitar Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) perjam nya.
Tabel berikut mencoba mengkompilasi biaya operasional pemadaman darat dan pemadaman udara.
Tabel 3. Perbandingan biaya pemadaman darat dan pemadaman udara
Deskripsi | Total Waktu Operasional | Biaya Operasional | Keterangan |
Regu Pemadam Manggala Agni | 30 Hari | Rp. 30.000.000,- | Belum termasuk biaya insentif dan asuransi anggota regu |
Tim Serbu Api | 30 hari | Rp. 120.000.000,- | |
Helikopter Kamov | 50 hari | Rp. 6.000.000.000,- | |
Cassa 212 | 30 hari | Rp. 3.360.000.000,- | |
Apabila dibandingkan pemadaman darat, pemadaman udara memerlukan dana hampir 30 kali lipat dari pemadaman darat. Dari segi efektivitas, berikut dicoba dibandingkan produksi air yang bisa diperoleh oleh TSA dan helikopter Kamov. Satu mesin pompa TSA di klaim mampu menghasilkan air sebanyak 1,76 – 2,03 liter/detik, dengan penggunaan mesin pompa selama 24 jam, apabila dihitung total air yang diperoleh satu mesin pompa TSA selama 1 jam yaitu 6.366 – 7.308 liter. Sedangkan helikopter Kamov, dengan model external tank mampu mengangkut sekitar 4.500 liter dimana pengambilan air dari sumber memerlukan waktu kurang dari satu menit. Efektivitas sendiri tampaknya bergantung terhadap lokasi kebakaran, dengan perbandingan jumlah produksi air yang dapat dicapai, apabila kebakaran terjadi dilokasi yang dapat dijangkau TSA, maka TSA akan lebih efektif memadamkan api karena helikopter Kamov akan memerlukan waktu untuk mengambil air disumber air. Tetapi apabila kebakaran berada dilokasi yang sulit untuk dijangkau oleh regu pemadam darat maka pemadaman jalur udara adalah satu – satunya jalan yang dapat ditempuh, walaupun dari segi efisiensi pemadaman udara tidak efisien karena memerlukan biaya yang mahal namun tipe pemadaman ini cukup efektif untuk memadamkan api sebelum semakin meluas. Efektivitas dan efisiensi kedua pemadaman tersebut pada dasarnya cukup bergantung terhadap lokasi dan kondisi kebakaran yang terjadi.
C. Penguatan Upaya Pencegahan
Sejak bencana kebakaran lahan dan hutan terjadi di Kalimantan Tengah, acapkali kegiatan pengendalian hanya difokuskan pada upaya pemadaman hal ini ditunjukkan dimana sebagian besar instansi pemerintah cenderung hanya akan bertindak apabila terjadi kebakaran, disisi lain program – program yang diluncurkan pemerintah lebih menekankan pada aspek pemadaman. Padahal upaya pencegahan merupakan upaya awal yang sangat penting, karena apabila kegiatan pencegahan berhasil dilakukan maka upaya pemadaman dapat diminimalisasi atau bahkan tidak diperlukan lagi upaya pemadaman.
Pembuatan Peta Rawan Kebakaran merupakan langkah awal yang harus diperkuat, dengan membuat peta berdasarkan sejarah kebakaran yang telah terjadi baru dilanjutkan dengan peningkatan patroli api di daerah – daerah rawan kebakaran terutama dilaksanakan ketika memasuki musim kemarau. Sehingga ketika tim patroli menemukan terjadi kebakaran dapat dilakukan pemadaman secara cepat sebelum api menjadi lebih besar dan menyebar. TSA sendiri mengestimasikan biaya operasional untuk kegiatan pencegahan kebakaran sebesar $ 6.061.60 atau sekitar Rp. 55.450.000,- (lima puluh juta empat ratus lima pulih ribu rupiah) perbulan. Dana ini diperlukan selama bulan Juni – November, sedangkan untuk Desember – Mei biaya operasional yang diperlukan perbulan hanya sebesar $440 atau sekitar Rp. 4.028.000,-
Tabel 4. Perbandingan alokasi dana untuk kegiatan pencegahan dan pemadaman per bulan
Pencegahan (Patroli dan pemadaman cepat) | Pemadaman | |
Darat (TSA) | Udara (Cassa 212) | |
Rp. 55.450.000,- | Rp. 120.000.000,- | Rp. 3.360.000.000,- |
Tentu saja biaya operasional kegiatan pencegahan ini jauh lebih kecil dari biaya – biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah pada saat kebakaran besar telah terjadi, selain itu tidak hanya kehilangan dana dalam jumlah besar kerugian lain seperti semakin rusaknya ekosistem gambut, musnahnya keanekaragaman hayati yang ada sampai dengan terganggunya kesehatan dan kegiatan ekonomi masyarakat dapat terhindari apabila kegiatan pencegahan berhasil dilaksanakan. Sayangnya dalam praktek di lapangan, dukungan untuk kegiatan pencegahan belum sepenuhnya dilaksanakan, pemerintah memang telah melakukan beberapa upaya pencegahan seperti melaksanakan sosialisasi, penyadartahuan masyarakat sampai dengan penggunaan early warning sistem. Tetapi untuk kegiatan patroli kebakaran sampai saat ini belum dilaksanakan secara maksimal, baru ketika kebakaran terjadi dalam skala besar pemerintah dan pihak terkait bertindak. Dengan mengkombinasikan sistem peringatan dini dan patroli api. Metode ini dilakukan dengan memberdayakan regu pemadam yang ada untuk melaksanakan patroli api atau membentuk regu – regu patroli kebakaran. Dimana setiap anggota regu berasal dari masyarakat lokal yang mengenal baik lokasi rawan kebakaran, tentu saja dengan pemberian insentif dan dukungan operasional yang pantas.
BAB IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah disebabkan karena aktivitas manusia, yang didukung dengan rusaknya kondisi alam dan lingkungan dan pengaruh faktor cuaca. Untuk menanggulangi kebakaran tersebut, pemerintah dan lembaga terkait melakukan berbagai upaya, yaitu: upaya pencegahan, pemadaman dan pasca kebakaran. Upaya pencegahan sendiri telah banyak dilaksanakan namun hasil yang diperoleh masih jauh dari yang diharapkan. Sedangkan upaya pemadaman telah dilaksanakan melalui jalur darat dan jalur udara.
Pemadaman jalur darat efektif dan efisien bila diterap di lokasi kebakaran yang dapat di akses melalui jalur darat, sedangkan pemadaman jalur udara cukup efektif untuk memadamkan api tetapi tidak efisien karena memerlukan biaya yang sangat besar. Cara yang paling efesien dan efektif untuk menanggulangi kebakaran adalah dengan menguatkan upaya pencegahan yaitu dengan melaksanakan partoli titik api di daerah – daerah rawan kebakaran, sehingga ketika titik api ditemukan dapat dilakukan pemadaman sebelum api meluas dan kebakaran skala besar terjadi.
B. Saran
- Kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan sebaiknya lebih dititikberatkan pada upaya pencegahan daripada pemadaman, karena lebih murah, mudah dan dapat meminimalisir dampak yang terjadi (ekonomi dan ekologi).
- Penggunaan metode pemadaman sebaiknya juga mengakomodir kondisi sosial ekonomi masyarakat, sehingga masyarakat dapat berperan aktif dan tidak hanya menjadi penonton jika terjadi kebakaran hutan dan lahan.
- Perlu diupayakan “water management program”untuk mempertahankan stabilitas dan ketinggian muka air tanah pada lahan gambut, dengan menggunakan sistem blok kanal sehingga dapat mengurangi resiko kebakaran pada musim kemarau.
DAFTAR PUSTAKA
Adinugroho, dkk. 2005. Strategi Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Wetlands International Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia
CIFOR, 2001. Laporan Tahunan Penyebab dan dampak kebakaran hutan dan lahan Di Indonesia. http://www.cifor.org/docs/_ref/publications/areports/indonesian2001/sumatra.htm
Engineering Town, 2011. Iptek Voice : Mengatasi Kebakaran Hutan Dengan Hujan Buatan. http://www.engineeringtown.com/teenagers/index.php/berita/736-iptek-voice-mengatasi-kebakaran-hutan-dengan-hujan-buatan.html
KalimantanTengah info, 2011. Profil Kalimantan Tengah. http://www.kalimantantengah.info/2011/06/profil-kalimantan-tengah.html
Kementerian Kehutanan, ---- . Eksekutif Data Strategis Kehutanan 2011. Jakarta
Kurnain, Ahmad. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut: Karakteristik dan Penangannya. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian. Universitas Lambung Mangkurat. Banjar Baru.
Limin, et all (2006). Effectiveness of Fire Prevention Action in Tropical Peatland in Central Kalimantan (Direct Traning). Centre For International Co-Operation In Management Of Tropical Peatland (CIMTROP) University of Palangka Raya. Palangka Raya.
Saharjo, dkk (1999). Manajemen Penggunaan Api dan Bahan Bakar dalam Penyiapan Lahan di Areal Perladangan berpindah. Laboratorium Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
TNOL, 2011. Hujan Buatan Untuk Pemadaman Kebakaran Hutan. http://www.tnol.co.id/id/tnol-peduli/10911-hujan-buatan-untuk-pemadaman-kebakaran-hutan-dan-lahan.html
Usman, Hariansyah (2010). Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Riau. Pulihkan Indonesia Utamakan Keselamatan Rakyat. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Riau. Pekanbaru
UPT Hujan Buatan BPPT, 2011. Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) sebagai Tools Pengelolaan Sumber Daya Air. http://wxmod.bppt.go.id/index.php/proses-hujan-buatanteknologi-modifikasi-cuaca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar