PENDAHULUAN
Latar Belakang
Erosi tanah
merupakan faktor utama penyebab degradasi tanah, yaitu menurunnya produktivitas
tanah pada saat ini maupun masa yang akan datang. Indonesia dengan wilayah
seluas 190,5 juta ha, 11,9% diantaranya tererosi. Erosi tanah yang timbul
diakibatkan oleh air, yaitu 12,1 juta ha akibat erosi permukaan tanah atau sheet erosion dan 10,5 juta ha akibat
erosi alur atau rill erosion dan
erosi parit atau gully erosion
(Firmansyah, 2007).
Kerentanan tanah
terhadap erosi ini sangat bergantung dengan vegetasi alami yang tumbuh pada
tanah tersebut. Seiring dengan tuntutan peningkatan perekonomian saat ini,
tanah dipergunakan untuk berbagai peruntukkan terutama tanaman pangan dan
perkebunan bahkan dengan mengorbankan areal hutan. Perubahan penggunaan lahan
ini turut mempercepat degradasi tanah melalui erosi tanah karena struktur akar
tanaman hutan yang kuat mengikat tanah digantikan dengan struktur tanaman
pertanian yang lebih lemah (Wikipedia, 2012).
Lahan kering terutama berada di
daerah aliran sungai (DAS) secara umum merupakan lahan yang dipergunakan untuk keperluan
pertanian dan perkebunan. Potensi perkebunan khususnya kelapa sawit menjadi
salah satu andalan untuk meningkatkan perekonomian
masyarakat salah satunya dengan pencanangan program sejuta bibit sawit. Kelapa
sawit sendiri banyak ditanam di lahan kering sekitar DAS. Kondisi ini biasanya
berpotensi menjadi penyebab kerusakan lingkungan yang makin parah yaitu
menurunkan produktivitas lahan, meningkatkan erosi dan sedimentasi, serta
memacu meluasnya banjir pada musim hujan.
Perubahan
vegetasi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit secara langsung berimbas pada
perubahan fungsi hutan sebagai catchment
area. Akibat yang terjadi dari perubahan ini adalah semakin besarnya
tingkat erosi yang berujung pada sumbangannya terhadap kehilangan hara serta
kelestarian/ umur lahan.
Rumusan
Masalah
Pengembangan perkebunan kelapa sawit rentan
erosi. Pendugaan erosi tanah di lahan perkebunan
kelapa sawit
sangat diperlukan untuk mengetahui besarnya dampak erosi yang dihasilkannya baik saat belum menghasilkan maupun setelah
menghasilkan.
Beberapa fenomena yang terjadi di atas menarik untuk diteliti terutama
berkaitan dengan berapa besarnya erosi tanah di areal perkebunan kelapa sawit saat tanaman pada kondisi
belum tanam (BT), tanaman belum
menghasilkan (TBM) dan tanaman yang sudah menghasilkan (TM) dengan perbedaan
kemiringan lereng ?
Selain itu perlu juga diketahui potensi kehilangan hara makro N, P, dan K di
areal perkebunan kelapa sawit?
Tinjauan
Pustaka
Erosi
Tanah
Peristiwa berpindahnya atau terangkutnya tanah atau
bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami dikenal
sebagai erosi tanah. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari
suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan pada suatu tempat
yang lain. Pengangkutan atau pemindahan tanah tersebut terjadi oleh media alami
yaitu air dan angin (Arsyad, 2007). Erosi merupakan proses alamiah yang tidak
bisa atau sulit dihilangkan sama sekali atau tingkat erosinya nol,
khususnya untuk lahan-lahan yang diusahakan untuk pertanian. Tindakan
yang dapat dilakukan adalah mengusahakan supaya erosi yang terjadi masih
di bawah ambang batas yang maksimum (soil
loss tolerance), yaitu besarnya erosi tidak melebihi laju pembentukan tanah
(Suripin, 2001).
Menurut Suripin (2001) erosi terjadi melalui tiga
tahap, yaitu tahap pelepasan partikel tunggal dari masa tanah dan tahap
pengangkutan oleh media yang erosif seperti aliran air dan angin. Pada
kondisi dimana energi yang tersedia tidak lagi cukup untuk mengangkut
partikel, maka akan terjadi tahap yang ketiga yaitu pengendapan. Erosi tanah dibagi
menjadi dua kelas berdasarkan macam penyebabnya, yaitu:
1. Erosi
geologis atau alami adalah suatu kejadian pengikisan lapisan permukaan tanah
yang selalu akan terjadi, sinambung dan berlangsung secara alami akibat
bekerjanya sejumlah penyebab alami erosi, yaitu curah hujan, limpasan dan
lelehan es. Laju tanah tererosi secara geologis hanya dikendalikan oleh
faktor-faktor iklim, topografi, tumbuhan, dan tanah. Dampak buruk erosi
geologis ini dapat diabaikan karena masih berada dalam batas-batas keseimbangan
alami, yaitu laju kehilangan massa tanah kurang atau sama dengan laju
pembentukannya.
2. Erosi
dipercepat adalah suatu kejadian pengikisan lapisan permukaan tanah yang
lajunya lebih besar laju erosi geologis akibat adanya kegiatan manusia yang
merusak kemantapan peranan faktor topografi, tanah, dan tumbuhan. Laju erosi
tanah dipercepat ini dikendalikan oleh faktor-faktor iklim, topografi,
tumbuhan, tanah, dan manusia dan karena lajunya melebihi laju pembentukannya
maka dapat berdampak buruk pada kelestarian potensi sumberdaya tanahnya.
Menurut Rahim (2003), erosi yang terjadi dapat dibedakan berdasarkan produk
akhir yang dihasilkan dan kenampakan lahan akibat erosi itu sendiri. Atas dasar
itu erosi dibedakan atas erosi percikan, erosi lembar, erosi alur, erosi selokan,
erosi tanah longsor, dan erosi pinggir sungai.
Erosi percikan terjadi pada awal hujan. Intensitas erosi percikan juga
meningkat dengan adanya air genangan tetapi setelah terjadi genangan dengan
kedalaman tiga kali ukuran butir hujan erosi percikan minimum. Pada saat inilah
proses erosi lembar dimulai. Erosi lembar akan kita temukan secara jelas di
daerah yang permukaannya relatif seragam.
Erosi alur dimulai dengan adanya konsentrasi limpasan permukaan.
Konsentrasi yang besar akan mempunyai daya rusak yang besar. Bila ukuran alur
sudah sangat besar, maka erosi yang terjadi telah memenuhi kategori erosi
selokan. Pada proses erosi tanah longsor ditandai dengan bergeraknya sejumlah
massa tanah secara bersama-sama. Hal ini disebabkan karena kekuatan geser tanah
sudah tidak mampu untuk menahan beban massa tanah jenuh air di atasnya. Adapun
erosi pinggir sungai yang mirip erosi tanah longsor mengikis pinggir
sungai-sungai yang karena suatu hal mengalami longsor terutama bila pinggir
sungai ini vegetasi alaminya ditebang dan diganti dengan tanaman baru. Menurut
Rahim (2003), tahapan erosi meliputi benturan butir-butir hujan dengan tanah,
percikan tanah oleh butiran hujan ke segala arah, penghancuran bongkahan tanah
oleh butiran hujan, pemadatan tanah, penggenangan air di permukaan, pelimpasan
air karena adanya penggenangan dan kemiringan lahan, dan pengangkutan partikel
terpercik dan/atau massa tanah yang terdispersi oleh air limpasan. Hujan akan
menimbulkan erosi jika intensitasnya cukup tinggi dan jatuhnya dalam waktu yang
cukup lama. Ukuran-ukuran butir hujan juga sangat berperan dalam menentukan
erosi. Hal tersebut dikarenakan energi kinetik merupakan penyebab utama dalam
penghancuran agregat-agregat tanah.
Erosi bisa terjadi apabila intensitas hujan turun lebih tinggi dibanding
kemampuan tanah untuk menyerap air hujan tersebut. Terjadinya erosi secara
rinci bisa dijelaskan melalui tiga tahapan. Pertama, penghancuran agregat tanah
dan pelepasan partikel. Kedua, pengangkutan tanah oleh aliran air. Ketiga, pengendapan
tanah akibat aliran air tidak mampu lagi mengangkut tanah (Gambar 1).
Mekanisme percikan di lahan datar dan tidak ada dan tidak ada angin, tidak
menyebabkan kehilangan tanah yang serius, tetapi jika ada angin kuat yang
menyebabkan percikannya mengikuti arah angin, kemiringan lahan juga mengarahkan
percikan tanah dan menyebabkannya terkumpul ke arah kaki bukit. Laju erosi
karena pengaruh angin dan kemiringan lahan tergantung kepada ketinggian dan
jarak tempuh mendatar percikannya. Jika kapasitas angkut percikan dan kemudahan
diangkut massa tanah itu tinggi, maka faktor angin dan lereng akan
mengintensifkan laju erosi (Purwowidodo, 1999).
Menurut Rahim (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tanah meliputi
hujan, angin, limpasan permukaan, jenis tanah, kemiringan lereng, penutupan
tanah baik oleh vegetasi atau lainnya, dan ada atau tidaknya tindakan
konservasi.
Menurut Arsyad (2007), pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa erosi adalah
akibat interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, vegetasi, topografi, tanah
dan manusia, yang dapat dinyatakan dalam persamaan deskriptif di bawah ini.
E = Æ’ ( iklim, topografi, vegetasi, tanah,
manusia)
Persamaan tersebut di atas mengandung dua jenis peubah, yaitu:
1. Faktor-faktor
yang dapat diubah oleh manusia, seperti: vegetasi yang tumbuh di atas tanah,
sebagian sifat-sifat tanah yaitu kesuburan tanah, ketahanan agregat, dan
kapasitas infiltrasi dan unsur topografi yaitu lereng.
2. Faktor-
faktor yang tidak dapat diubah oleh manusia, seperti: iklim, tipe tanah dan
kecuraman lereng.
Atas pertimbangan tersebut di atas, maka besarnya erosi dapat diperkecil
dengan cara mengatur faktor-faktor yang dapat diubah. Adapun uraian faktor-
faktor yang dapat menyebabkan erosi dan limpasan permukaan (iklim, topografi,
vegetasi, tanah dan manusia), adalah sebagai berikut:
1. Iklim
Menurut Mohr dan Van Baren (1954) dalam
Santosa (1985), angka hujan di Indonesia relatif tinggi bila dibandingkan
dengan daerah-daerah tropis lainnya. Menurut Rahim (2003), makin tinggi curah
hujan semakin tinggi juga penutupan tanah oleh vegetasi, mengakibatkan semakin
membaiknya proteksi terhadap tanah. Demikian pula halnya dengan keadaan tanah.
Dalam Purwowidodo (1999), faktor-faktor iklim yang berperan penting dalam
merangsang erosi tanah adalah temperatur, angin, dan curah hujan.
Hujan mempengaruhi segala proses erosi mulai dari pemecahan agregat tanah
menjadi butir-butir primer sampai dengan pengangkutannya. Hujan tropis adalah
lebih erosif daripada hujan di daerah beriklim sedang. Hal ini disebabkan oleh
tingginya intensitas hujan. Menurut Arsyad (2007), ada tiga komponen
karakteristik hujan yang berpengaruh terhadap erosi yaitu jumlah, intensitas
dan distribusi hujan. Jumlah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu
wilayah tertentu dinyatakan dalam milimeter atau centimeter. Intensitas hujan
menyatakan besarnya atau jumlah hujan yang jatuh dalam waktu yang singkat,
dinyatakan dalam milimeter/jam atau centimeter/jam. Jumlah rata-rata curah hujan
yang tinggi mungkin tidak menyebabkan terjadinya erosi jika intensitasnya
rendah. Demikian juga suatu hujan yang intensitasnya besar yang terjadi dalam
waktu singkat mungkin tidak akan menimbulkan erosi karena tidak cukup air untuk
mengangkut tanah. Intensitas hujan banyak digunakan untuk menjelaskan fenomena
laju erosi yang terjadi.
Laju erosi di kawasan bercurah hujan < 250 mm th-1 adalah
sangat kecil atau dapat diabaikan. Laju erosi tanah oleh air akan cenderung
meningkat sesuai peningkatan curah hujannya sampai 750 mm th-1
tetapi pada peningkatan selanjutnya tidak diikuti oleh peningkatan laju erosi
tanahnya. Daerah bercurah hujan < 750 mm th-1 umumnya merupakan
daerah tropis kering sampai padang pasir. Air hujan yang jatuh di kawasan ini
hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan tanamannya. Untuk daerah dengan curah
hujan > 750 mm th-1 banyak
mempunyai tumbuhan berupa hutan. Adanya hutan alami yang tumbuh baik akan
melindungi tanah dari erosivitas hujan yang tinggi. Jika tumbuh-tumbuhan di
kawasan hutan ini ditebang, permukaan tanahnya terbuka maka laju erosi tanah
pada iklim tropika basah akan melebihi iklim lainnya.
2. Topografi
Pada umumnya suatu areal memiliki topografi yang berbeda, mulai dari datar,
landai sampai dengan curam. Faktor-faktor topografi yang mempengaruhi besar
kecilnya erosi dan limpasan permukaan ialah derajat kemiringan lereng lapangan
dan panjang lereng, dengan kata lain erosi dan limpasan permukaan akan lebih
besar pada tanah dengan lereng yang lebih curam dan lebih panjang. Erosi tidak
menjadi masalah pada daerah datar, akan tetapi apabila daerah mulai miring maka
masalah pencegahan erosi menjadi serius.
Kelerengan lapangan dapat diketahui berdasarkan melihat peta topografi
areal yang akan diamati atau bisa juga dengan melakukan pengukuran langsung di
lapangan dengan menggunakan alat bantu untuk mengukur kelerengan seperti clinometer. Besarnya kelerengan
ditentukan oleh jarak horizontal dan vertikal dari dua titik yang akan dicari
kelerengannya. Untuk kelerengan bernilai 100% adalah kelerengan yang mempunyai
sudut 45o.
3. Vegetasi
Beberapa pengaruh vegetasi terhadap erosi ialah sebagai intersep hujan oleh
kanopi tanaman, mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air,
pengaruh akar terhadap erositas dan kestabilan agregat tanah, pengaruh
kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetasi dan
pengaruhnya terhadap porositas tanah, serta proses transpirasi yang
mengakibatkan keringnya tanah (Arsyad, 2007; Hardjowigeno, 2007).
Menurut Santosa (1985) vegetasi hanya akan efektif melindungi tanah dari
erosi apabila tersusun oleh pohon-pohon yang membentuk strata tajuk, adanya
tumbuhan bawah dan lapisan serasah. Tanaman perkebunan yang terdiri dari
tanaman keras biasanya hanya membentuk satu stratum tajuk. Dengan demikian
peranannya terhadap pencegahan erosi sangat ditentukan oleh adanya tumbuhan
bawah.
4. Tanah
Tanah adalah suatu produk alami yang heterogen dan dinamis, maka sifat dan
perilaku tanah akan berbeda dari suatu tempat ke tempat lain dan berubah dari
waktu ke waktu. Setiap perbedaan sifat tanah akan menyebabkan perbedaan sifat
tanah akan menyebabkan perbedaan nilai kepekaan erosi. Berbagai tipe tanah
mempunyai kepekaan yang berbeda-beda terhadap erosi. Kepekaan tanah yaitu mudah
atau tidaknya tanah tererosi merupakan fungsi dari berbagai interaksi
sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Sifat tanah yang penting pengaruhnya
terhadap permukaan erosi terhadap kepekaan erosi dan limpasan permukaan adalah
tekstur, struktur, kandungan bahan organik, kesarangan, kapasitas lapang, tebal
dan sifat horizon serta kadar air tanah (Hardjowigeno, 2007).
5. Manusia
Manusia dapat mengubah tanah menjadi lebih baik atau lebih buruk,
tergantung dari cara penggunaan dan pengolahannya. Pola tataguna lahan
merupakan pencerminan kegiatan manusia di atasnya. Pengusahaan lahan tergantung
pada tingkat penggunaan teknologi, tingkat pendapatan, hubungan antara masukan
dan keluaran pertanian, pendidikan, penyuluhan, pemilikan lahan, dan penguasaan
lahan. Oleh karena itu penggunaan lahan dapat bersifat membangun dapat juga
bersifat merusak (Arsyad, 2007).
Pendugaan
Erosi Tanah
Pendugaan
erosi dari sebidang tanah adalah metode untuk memperkirakan laju erosi yang
akan terjadi dari tanah yang digunakan dalam suatu penggunaan lahan tertentu. Metode
yang umum digunakan dalam prediksi erosi yaitu metode USLE yang dikembangkan
oleh Wischmeier dan Smith (1978), dikenal dengan persamaan USLE yaitu:
A
= R . K . L . S . C . P
dimana:
A = banyaknya tanah tererosi
(t ha-1 th-1)
R = faktor curah hujan dan aliran
permukaan
K = faktor erodibilitas tanah
L = faktor panjang lereng
S = faktor kemiringan lereng
C = faktor vegetasi penutup tanah dan
pengelolaan tanaman
P = faktor tindakan-tindakan khusus
konservasi
Menurut
Purwowidodo (1999) nilai faktor R dalam USLE adalah jumlah satuan-satuan indeks
erosivitas hujan. Indeks erosivitas curah hujan ditetapkan berdasarkan
ciri-ciri hujan di berbagai lokasi di Amerika Serikat dan negara lain, yang
dinilai berkaitan erat dengan laju erosi tanah yaitu energi kinetik hujan (Ek)
dan intensitas hujan maksimum dalam 30 menit (I30). Metode
penghitungan erosivitas curah hujan tergantung pada jenis data curah hujan yang
tersedia. Disarankan agar menggunakan rumus Bols jika diketahui jumlah curah
hujan bulanan rata-rata, jumlah hari hujan dalam bulan tertentu, dan curah
hujan harian rata-rata maksimal pada bulan tertentu. Rumus Lenvain digunakan
apabila hanya tersedia data curah hujan bulanan rata-rata.
Faktor
erodibilitas tanah (K) menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap
pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah tersebut oleh adanya
energi kinetik air hujan. Meskipun besarnya resistensi tersebut di atas akan
bergantung pada topografi, kemiringan lereng, dan besarnya gangguan. Tanah yang
mempunyai erodibilitas rendah mungkin mengalami erosi yang berat jika tanah
tersebut terdapat pada lereng curam dan panjang. Sebaliknya tanah yang
mempunyai erodibilitas tinggi, mungkin memperlihatkan gejala erosi ringan atau
tidak sama sekali bila terdapat pada lereng landai, penutupan vegetasi baik,
curah hujan berintensitas rendah.
Pada prinsipnya
sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erodibilitas tanah adalah sifat-sifat tanah
yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas dan kapasitas tanah menahan
air dan sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan struktur tanah terhadap
dispersi, dan pengikisan oleh butir-butir air hujan dan aliran permukaan.
Sifat-sifat tanah tersebut mencakup tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman
tanah, sifat lapisan tanah dan tingkat kesuburan tanah (Veiche, 2002).
Dalam
Purwowidodo (1999) disebutkan bahwa faktor-faktor topografi merupakan panjang
lereng dan faktor kemiringan dalam USLE dapat ditetapkan secara terpisah
sebagai nilai faktor L dan S, namun untuk berbagai pekerjaan lapangan yang
lebih teknis faktor-faktor tersebut disatukan menjadi faktor LS. Nilai faktor L
adalah perbandingan antara laju erosi tanah dari suatu lahan dengan panjang
lereng tertentu dengan nilai laju erosi tanah dari suatu lahan dengan panjang
lereng di petak standar (22,1 m). Nilai faktor S adalah perbandingan antara
laju erosi tanah dari suatu lahan dengan kemiringan tertentu dan laju erosi
tanah dari lahan dengan kemiringan lereng di petak standar (9%).
Faktor C
menunjukkan keseluruhan pengaruh dari vegetasi, serasah, keadaan permukaan
tanah, dan pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah yang tererosi. Oleh
karenanya besarnya angka C tidak selalu sama dalam kurun waktu satu tahun. Ada
sembilan parameter yang ditentukan sebagai faktor penentu besar nilai C, yaitu
konsolidasi tanah, sisa-sisa tanaman, tajuk vegetasi, sistem perakaran, efek
sisa perakaran dari kegiatan pengelolaan lahan, faktor kontur, kekasaran
permukaan tanah, gulma dan rumput-rumputan (Asdak, 2006).
Pada dasarnya
penentuan nilai C sangat rumit, karena harus mempertimbangkan sifat
perlindungan tanaman terhadap erosivitas hujan. Sifat perlindungan tanaman
harus dinilai sejak dari pengolahan tanah hingga panen, bahkan hingga penanaman
berikutnya. Selain itu, penyebaran hujan selama satu tahun juga perlu
memperoleh perhatian. Untuk mendapatkan nilai C tanpa mengurangi ketelitian
prediksi erosi yang hendak dicapai dapat ditempuh cara dengan merujuk publikasi
yang telah ada sesuai dengan kondisi Indonesia. Bila untuk sebidang lahan
terdapat rotasi tanaman atau cara pengelolaan tanaman yang tidak tercantum
dalam publikasi yang dirujuk, maka dapat ditempuh dengan memperhitungkan
kembali nilai C tersebut berdasarkan nilai-nilai C pada publikasi rujukan. Nilai
faktor tindakan konservasi tanah atau nilai faktor P dalam USLE adalah
perbandingan nilai laju erosi tanah dari suatu lahan yang memperoleh tindakan
konservasi tertentu terhadap laju erosi tanah lahan tersebut jika diolah
mengikuti arah kemiringan lahan (Purwowidodo, 1999).
Kehilangan Hara
Akibat Erosi
Erosi sangat
merugikan produktivitas lahan karena dalam waktu relatif singkat, tanah lapisan
atas yang subur hilang. Jika tanah yang hilang setebal 10 cm, maka produksi
dapat menurun lebih dari 50% meskipun dilakukan pemupukan lengkap (Abdurachman
dkk, 2003).
Dalam proses
erosi, tanah yang terkikis dan terangkut adalah lapisan tanah atas yang
merupakan sumber kehidupan tanaman karena hanya pada lapisan ini tanaman dapat
memperoleh hara yang cukup. Dengan terangkutnya bahan organik dan partikel
tanah yang halus oleh erosi, maka terjadi perubahan sifat tanah. Erosi tidak
hanya berpengaruh terhadap kandungan organik tanah atas tetapi juga kandungan
N, P, K, Ca, K dan lain sebagainya (Arsyad, 2007).
Jumlah hara yang
hilang karena erosi sangat menarik. Kehilangan ini akan lebih besar dari jumlah
yang diperkirakan karena zarah-zarah tanah halus yang mempunyai tingkat
kesuburan lebih tinggi dari keseluruhan tanah yang terangkut oleh erosi. Ini
berarti kehilangan yang dipercepat dari unsur kesuburan (Arsyad, 2007). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kehilangan unsur hara N, P, K, Ca dan Mg dalam
aliran permukaan pada areal hutan sekunder bekas terbakar nilainya lebih besar
daripada areal hutan sekunder yang tidak terbakar. Kehilangan
hara pupuk akibat erosi adalah sekitar 11% N yang diaplikasi, tetapi umumnya
lebih rendah untuk unsur P, K, dan Mg. Fenomena
kehilangan hara akibat erosi hampir sama dengan akibat aliran permukaan.
Perbedaannya adalah pada aliran permukaan, kehilangan hara dalam bentuk
terlarut dalam air. Sedangkan yang terjadi akibat erosi adalah kehilangan
hara dalam bentuk yang terkandung dalam material tanah. Jadi besar hara
hilang sama dengan material tanah yang tererosi. Erosi terjadi pada lapisan
atas tanah yang subur (Waluyo, 2003).
Perkebunan
Kelapa Sawit
Kebutuhan minyak nabati dan lemak dunia terus
meningkat sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan
domestik bruto. Jumlah penduduk di negara-negara kawasan Timur-Jauh sekitar 3,2
milyar atau 50% dari penduduk dunia. Di daerah inilah, tingkat pertumbuhan
ekonomi Tahun 2008 hingga Tahun 2010 merupakan paling tinggi. Selain itu,
konsumsi minyak per kapita penduduk di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara
juga masih jauh di bawah rata-rata penggunaan minyak nabati dan lemak per
kapita per tahun penduduk dunia (Pahan, 2008).
Menurut Pahan (2008), minyak kelapa sawit merupakan
komoditas yang mempunyai nilai strategis karena merupakan bahan baku utama
pembuatan minyak makan. Sementara, minyak makan merupakan salah satu dari 9
kebutuhan pokok bangsa Indonesia. Permintaan akan minyak makan di dalam dan
luar negeri yang kuat merupakan indikasi pentingnya peranan komoditas kelapa
sawit dalam perekonomian bangsa.
Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu pondasi
bagi tumbuh dan berkembangnya sistem agribisnis kelapa sawit. Sistem agribisnis
kelapa sawit merupakan gabungan subsistem sarana produksi pertanian
(agroindustri hulu), pertanian, industri hilir, dan pemasaran yang dengan cepat
akan merangkaikan seluruh subsistem untuk mencapai skala ekonomi (Pahan, 2008).
Kelapa sawit tumbuh dengan baik pada dataran rendah di
daerah tropis yang beriklim basah, yaitu sepanjang garis khatulistiwa antara
23,50 lintang utara sampai 23,50 lintang selatan. Adapun persyaratan
tumbuh pada tanaman kelapa sawit yaitu: curah hujan ≥ 2.000 mm th-1
dan merata sepanjang tahun dengan bulan kering ≤ 3 bulan, temperatur siang hari
rata-rata 29 – 33 0C dan malam hari 22- 240C, ketinggian
tempat dari permukaan laut < 500 m, dan matahari bersinar sepanjang tahun,
minimal 5 jam per hari.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di lahan perkebunan
kelapa sawit Kecamatan Manuhing Kabupaten Gunung Mas.
Kegiatan penelitian ini berlangsung
selama 3 bulan dan dilaksanakan sejak Bulan Maret 2012 hingga Mei 2012.
Kegiatan tersebut meliputi persiapan penelitian, pengumpulan data primer dan
sekunder, analisis dan interprestasi data serta penulisan laporan.
Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta jenis tanah, peta blok kebun, peta
tutupan lahan, peta kontur, data curah hujan Tahun 2011, dan contoh tanah. Alat
yang digunakan adalah ring sampler, bor tanah, GPS, klinometer, kamera, dan
komputer. Adapun desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif
dengan cara survei lapangan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah observasi, wawancara dan analisis laboratorium.
Variabel dalam penelitian ini adalah
erosivitas, erodibilitas, kelerengan, faktor tanaman dan konservasi tanah.
Metode
penarikan sampel dalam penelitian ini dibagi berdasarkan kondisi lokasi tanaman
diantaranya :
1.
Lokasi
belum tanam (BT), terdiri atas 2 jenis kelerengan 0-8% dan 8-15%,
2.
Lokasi
tanaman belum menghasilkan (TBM), terdiri atas 2 jenis kelerengan 0-8% dan
8-15%, serta umur tanaman yang berbeda ( 1 dan 2 tahun),
3.
Lokasi
tanaman menghasilkan, terdiri atas 2 jenis kelerengan 0-8% dan 8-15%, serta
umur tanaman yang berbeda ( 3 dan 4 tahun),
Setiap
lokasi dilakukan pengambilan contoh tanah terusik (kandungan bahan organik, N,
P, dan K, tekstur dan berat volume) dan tidak terusik (permeabilitas) untuk
keperluan analisis di laboratorium. Untuk struktur, solum tanah, keadaan
vegetasi dan konservasi tanah diamati di lapangan. Analisis kimia tanah
(kandungan bahan organik, N, P, dan K) dilakukan di Lab. Analitik Universitas
Palangka Raya, sementara untuk analisis tekstur, permeabilitas dan berat volume
di analisis di Lab. Kimia, Fisika, dan Biologi Tanah Universitas Lambung
Mangkurat.
Prediksi
erosi (A) menggunakan persamaan USLE (Wischmeier dan Smith, 1978), yaitu:
A
= R K LS C P
Dimana:
A = banyaknya tanah tererosi (t ha-1
th-1),
R = faktor erosivitas hujan,
K = faktor erodibilitas tanah,
LS = faktor
panjang dan kemiringan
lereng,
C = faktor tanaman
P = faktor konservasi tanah
Besarnya
faktor erosivitas hujan (R) dihitung berdasarkan persamaan dari Lenvain
berikut:
R = 2,21 P1,36
Dimana:
R = erosivitas hujan bulanan
P = curah hujan bulanan (cm)
Besarnya faktor
erodibilitas tanah (K) dihitung berdasarkan per(Hammer, 1980 dalam Dephut,
1998), sebagai berikut:
K = {2,71x(10-4) M1.4 (12-a) + 4,2 (b-2) + 3,23
(c-3)} / 100
K = erodibilitas
tanah
M =
(% pasir sangat halus + % debu) x
(100-% liat)
a = persen bahan organik tanah (%)
b = kode struktur tanah
c = kelas permeabilitas tanah
Besarnya
LS ditentukan berdasarkan Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007).
Penentuan
faktor C dilakukan berdasarkan U.S. Department of Agriculture (1977), sementara
untuk penentuan konservasi tanah berdasarkan Dephut (1998).
Jumlah
erosi yang diperbolehkan dan penentuan tingkat bahaya erosi (TBE) dihitung
berdasarkan metode Hammer (1981).
Potensi
kehilangan hara N, P, dan K berdasarkan konversi dari hasil analisis
laboratorium pada jumlah erosi total (Waluyo, 2003).
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Prediksi Erosi
Prediksi erosi yang terjadi pada lokasi penelitian
berkisar 9,26 ton/ha/tahun – 135,11 t ha-1 th-1. Adapun plot sampling TM1a memiliki nilai erosi
terkecil sedangkan nilai erosi terbesar terjadi di BTb. Nilai erosi untuk
masing-masing plot sampling dapat dilihat pada Tabel 1.
Untuk
erosi total berkisar 24,08 - 220,23 t th-1,
secara lengkap pada Tabel 2.
Tabel 1. Nilai
erosi pada lokasi penelitian
No
|
Lokasi
|
R
|
K
|
LS
|
C
|
P
|
A (t ha-1 th-1)
|
1.
|
BTa
|
1.805
|
0,11
|
0,25
|
0,4490
|
1,0
|
21,60
|
2.
|
BTb
|
1.805
|
0,14
|
1,20
|
0,4490
|
1,0
|
135,11
|
3.
|
TBM1a
|
1.805
|
0,15
|
0,25
|
0,2968
|
0,6
|
11,94
|
4.
|
TBM1b
|
1.805
|
0,18
|
1,20
|
0,2968
|
0,5
|
58,15
|
5.
|
TBM2a
|
1.805
|
0,18
|
0,25
|
0,3216
|
0,6
|
15,75
|
6.
|
TBM2b
|
1.805
|
0,18
|
1,20
|
0,3216
|
0,5
|
63,01
|
7.
|
TM1a
|
1.805
|
0,14
|
0,25
|
0,2464
|
0,6
|
9,26
|
8.
|
TM1b
|
1.805
|
0,11
|
1,20
|
0,2464
|
0,5
|
28,45
|
9.
|
TM2a
|
1.805
|
0,15
|
0,25
|
0,2536
|
0,6
|
10,20
|
10.
|
TM2b
|
1.805
|
0,15
|
1,20
|
0,2536
|
0,5
|
40,82
|
Tabel 2. Nilai erosi total
No.
|
Lokasi
|
Luas (Ha)
|
A
(t ha-1 th-1)
|
Erosi
Total (t
th-1)
|
1.
|
BTa
|
3,23
|
21,60
|
69,77
|
2.
|
BTb
|
1,63
|
135,11
|
220,23
|
3.
|
TBM1a
|
3,00
|
11,94
|
35,82
|
4.
|
TBM1b
|
1,22
|
58,15
|
70,94
|
5.
|
TBM2a
|
2,75
|
15,75
|
43,31
|
6.
|
TBM2b
|
1,44
|
63,01
|
90,73
|
7.
|
TM1a
|
2,60
|
9,26
|
24,08
|
8.
|
TM1b
|
1,90
|
28,45
|
54,06
|
9.
|
TM2a
|
3,45
|
10,20
|
35,19
|
10.
|
TM2b
|
1,53
|
40,82
|
62,45
|
|
Total
|
22,75
|
394,29
|
706,58
|
|
Rata-rata
|
2,27
|
39,43
|
|
Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Penentuan tingkat erosi dilakukan dengan menggunakan data prediksi erosi
yang diperoleh, kemudian dilihat kedalaman tanah pada nilai erosi yang
dihasilkan untuk dibandingkan dengan nilai erosi yang diperbolehkan (Edp) sehingga bisa
diklasifikasikan dalam kelas TBE. Tingkat erosi yang dihasilkan pada lokasi penelitian
berkisar rendah sampai dengan tinggi. Adapun untuk kategori rendah yaitu pada
TBM1a, TBM2a, TM1a, dan TM2a, sementara untuk BTa, TBM1b, TBM2b, TM1b dan TM2b
tergolong sedang. Tingkat bahaya erosi yang dalam kategori tinggi terdapat pada
lokasi BTb. Adapun tingkat erosi secara rinci terlihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Tingkat bahaya
erosi pada lokasi
penelitian
No
|
Lokasi
|
Solum (cm)
|
Erosi (t ha-1 th-1)
|
Edp (t ha-1 th-1)
|
TBE
|
Kelas TBE
|
1.
|
BTa
|
82
|
21,60
|
18,84
|
1,15
|
sedang
|
2.
|
BTb
|
85
|
135,11
|
19,80
|
6,82
|
tinggi
|
3.
|
TBM1a
|
107
|
11,94
|
27,20
|
0,44
|
rendah
|
4.
|
TBM1b
|
110
|
58,15
|
14,72
|
3,95
|
sedang
|
5.
|
TBM2a
|
95
|
15,75
|
23,52
|
0,67
|
rendah
|
6.
|
TBM2b
|
113
|
63,01
|
25,92
|
2,43
|
sedang
|
7.
|
TM1a
|
94
|
9,26
|
24,00
|
0,39
|
rendah
|
8.
|
TM1b
|
97
|
28,45
|
24,96
|
1,14
|
sedang
|
9.
|
TM2a
|
102
|
10,20
|
24,16
|
0,42
|
rendah
|
10.
|
TM2b
|
99
|
40,82
|
24,48
|
1,67
|
sedang
|
Potensi Kehilangan Hara
Potensi
kehilangan hara pada penelitian ini adalah dengan menggunakan asumsi bahwa erosi
yang terjadi turut serta membawa hara baik melalui aliran permukaan maupun tanah
yang tererosi. Adapun cara menghitung potensi
kehilangan hara dengan mengkonversikan kandungan
hara yang terdapat pada setiap plot sampling berdasarkan erosi total yang
terjadi. Kehilangan hara N berkisar 35,2
– 374,4 kg, P
berkisar 0,35 – 5,24 kg dan K
berkisar 0,7
– 29,3 kg.
Potensi kehilangan hara pada lokasi penelitian secara rinci dapat terlihat pada
Tabel 4
.
Tabel 4. Potensi
kehilangan hara akibat
erosi
No.
|
Lokasi
|
Erosi
(t ha-1 th-1)
|
Jenis Hara
|
Kehilangan hara (kg th-1)
|
N total
|
P tersedia
|
K dd
|
1.
|
BTa
|
69,77
|
132,6
|
1,69
|
11,5
|
2.
|
BTb
|
220,23
|
374,4
|
5,24
|
29,3
|
3.
|
TBM1a
|
35,82
|
39,4
|
0,83
|
2,4
|
4.
|
TBM1b
|
70,94
|
99,3
|
1,63
|
3,6
|
5.
|
TBM2a
|
43,31
|
77,9
|
0,79
|
1,2
|
6.
|
TBM2b
|
90,73
|
181,5
|
1,59
|
3,9
|
7.
|
TM1a
|
24,08
|
40,9
|
0,51
|
0,7
|
8.
|
TM1b
|
54,06
|
118,9
|
1,17
|
2,1
|
9.
|
TM2a
|
35,19
|
35,2
|
0,35
|
1,1
|
10.
|
TM2b
|
62,45
|
81,2
|
0,64
|
2,2
|
|
Total
|
|
1.181,3
|
14,4
|
58,0
|
Pembahasan
Prediksi erosi dari sebidang tanah adalah metode untuk
memperkirakan laju erosi yang terjadi dari tanah untuk penggunaan dan
pengelolaan tertentu. Berdasarkan prediksi erosi yang telah dilakukan seperti
pada Tabel 16, ternyata bahwa besarnya erosi yang terjadi t ha th-1 (nilai A) pada setiap plot sampling adalah bervariasi
. Hasil prediksi erosi ini jika dibandingkan dengan Firmansyah (2007), maka
nilai rata-rata prediksi erosi di lokasi penelitian hasilnya lebih besar 2,5
kali. Hasil penelitian jika dibandingkan dengan prediksi PBS sebelumnya, maka 0,6 kali lebih kecil. Hasil perhitungan erosi dengan metode USLE menunjukkan bahwa 10% lahan
di lokasi penelitian memiliki tingkat bahaya erosi tinggi, 40% rendah, dan 50%
dalam kategori sedang. Faktor
yang membedakan nilai prediksi erosi di lokasi penelitian adalah faktor K, LS,
C, dan P. Sedangkan faktor R (indeks erosivitas hujan)
nilainya sama pada seluruh titik pengamatan.
Dari
4 faktor yang membedakan nilai prediksi erosi di lokasi penelitian, maka faktor
LS (kelerengan) sangat dominan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan hampir 5
kali lipat antara lokasi dengan kemiringan lereng 0-8% terhadap lokasi
kemiringan lereng 8-15%. Hal itu sesuai dengan pendapat Firmansyah (2007) yang
menyatakan kelerengan sangat berperan karena pergerakan air serta kemampuan
memecahkan dan membawa partikel-partikel tanah akan bertambah dengan
bertambahnya sudut ketajaman lereng. Faktor kedua setelah LS adalah konservasi
tanah (P) pada lokasi penelitian khususnya antara lokasi belum tanam (BT)
dimana belum ada usaha konservasi jika dibandingkan dengan TBM dan TM yang
sudah ada usaha konservasi tanah yaitu dengan penanaman berdasarkan kontur.
Pengelolaan tanaman (C) memegang peranan selanjutnya dalam menentukan besar
kecilnya erosi. Keberadaan vegetasi di sekitar lokasi penelitian terutama
berpengaruh karena vegetasi mampu menekan erosi. Pengaruh ini terutama
ditentukan oleh jenis vegetasi, umur, perakaran, tajuk dan tinggi vegetasi.
Pada lokasi BT jenis vegetasi lebih didominasi oleh vegetasi tanpa tajuk kelapa
sawit berupa semak atau seresah yang belum membusuk, sementara pada TBM dan TM
sudah ada tajuk kelapa sawit ditambah tumbuhan bawah penutup tanah. Jenis
vegetasi ini mempengaruhi sampainya butiran hujan ke tanah sehingga sangat
menentukan pukulan hujan terhadap tanah. Umur tanaman khususnya kelapa sawit
sangat menentukan perlindungan terhadap tanah dari curah hujan terutama
keberadaan tajuk sebagai kanopi bagi tanah. Semakin tua umur tanaman kelapa
sawit, maka tanaman kelapa sawit akan bertambah tingginya serta kanopi yang
dihasilkan juga cakupannya akan lebih luas. Faktor terakhir yang mempengaruhi
erosi adalah erodibilitas tanah (K). Nilai K pada semua lokasi berharkat rendah
sehingga faktor K pada lokasi penelitian merupakan faktor terkecil dalam
mempengaruhi nilai erosi.
Salah satu faktor yang erat hubungannya dengan erodibilitas adalah keadaan tekstur tanah dan kandungan bahan
organik. Tekstur tanah menentukan tata air dalam tanah yaitu berupa kecepatan
permeabilitas dan kemampuan mengikat air oleh tanah. Pengaruh bahan organik
pada aliran permukaan terutama memperlambat kecepatan aliran permukaan, meningkatkan infiltrasi tanah (Hardiyatmo, 2006). Kandungan bahan organik mempengaruhi kemantapan
struktur tanah, oleh karena itu tanah dengan kandungan bahan organik tinggi
memiliki struktur tanah yang mantap dan tahan terhadap erosi, sehingga bahan
organik merupakan pelindung yang baik terhadap erosi. Menurut Hardjowigeno (2007) tanah dengan kandungan
bahan organik kurang dari 2% umumnya peka terhadap erosi. Tanah pada lokasi
penelitian sekitar 60% memiliki kandungan bahan organik di bawah 2%, hal
tersebut dapat diartikan bahwa lokasi tersebut tergolong peka terhadap erosi.
Erosi yang
diperbolehkan dalam penelitian ini memiliki nilai rata-rata 0,5 kali lebih
kecil dari nilai erosi yang diperbolehkan menurut Firmansyah (2007) yaitu 22,76
t ha-1 th-1 berbanding 45,36 t ha-1
th-1. Hal ini dapat dijadikan informasi jika di suatu lokasi pengukuran
erosi memiliki laju erosi bernilai
kurang dari nilai Edp, maka lokasi pengukuran tersebut tidak diperlukan
suatu tindakan konservasi tanah. Sebagai contoh adalah pada plot sampling BTb
nilai laju erosinya adalah 135,11 t ha-1 th-1sementara
nilai Edp adalah 19,80 t ha-1 th-1 artinya bahwa pada lokasi ini erosi yang terjadi sudah
6,8 kali lebih besar dari ambang erosi yang diperbolehkan dan membutuhkan
tindakan konservasi tanah. Contoh lain adalah pada plot sampling TM2a, nilai
erosi adalah 10,20 t ha-1 th-1 sementara nilai Edp adalah 24,16 t ha-1 th-1 artinya laju erosi 0,42 kali lebih kecil dibandingkan
dengan erosi yang diperbolehkan, sehingga tidak diperlukan tindakan konservasi
tanah.
Untuk menilai ancaman yang disebabkan erosi pada
lokasi penelitian, menggunakan pendekatan Indeks Bahaya Erosi sebagai dasar,
sehingga dapat ditentukan Tingkat Bahaya Erosi seperti pada Tabel 18. Lokasi dengan tingkat bahaya erosi tinggi terdapat
pada BTb. Pada lokasi ini kemiringan lereng 12,5%, belum ada usaha konservasi dan penutupan tanah oleh tajuk tanaman kelapa sawit
belum ada hanya berupa semak dengan tajuk daun lebar atau serasah yang belum
membusuk sebesar 5% sementara lokasi dengan TBE yang rendah ada pada TBM1a,
TBM2a, TM1a dan TM2a .
Lokasi penelitian yang termasuk dalam kategori sedang
sampai dengan tinggi dalam Indeks Bahaya Erosi membutuhkan tindakan pengelolaan
khususnya konservasi tanah. Ada 2 teknik konservasi tanah yang bisa dilakukan,
yaitu secara fisik/mekanik dan vegetatif untuk lokasi penelitian ini. Menurut Dephut (1998) Indeks pengelolaan tanah yang
bernilai 1 bisa dikurangi menjadi 0,5 bahkan 0,04 jika dalam rencana kegiatan
perkebunan ini direalisasikan dengan penanaman tanaman leguminosa sebagai
penutup lahan
(vegetatif) serta penerapan teras bangku (mekanik). Ayudyaningrum (2006) menyatakan bahwa pembuatan
teras gulud mampu menekan aliran permukaan sampai dengan 73% dan erosi 95%.
Cara lain adalah seperti yang dikemukakan Murtilaksono et al. (2009), dimana penggunaan teknik mekanik berupa teras gulud
dan rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa
vertikal mampu menurunkan erosi 41,94%, sementara Lubis (2004) mengatakan bahwa
teknik mekanik teras gulud, rorak dan mulsa vertikal mampu menekan aliran
permukaan sampai 100%. Adapun contoh keberadaan teras gulud, rorak, dan mulsa
vertikal.
Selain dengan
pendekatan mekanik, menurut Putri (2003) cara konservasi dapat juga ditempuh
dengan penggunaan vegetasi penutup tanah. Tanaman penutup tanah sering juga
disebut tanaman pelengkap (smother crops),
tanaman penutup tanah atau tanaman pesaing (competitive crops). Sebagai tanaman penutup tanah biasa digunakan
tanaman kacang-kacangan (Leguminosae)
karena selain dapat secara cepat menutup tanah juga mencegah perkecambahan dan
pertumbuhan gulma. Selain itu dapat pula digunakan sebagai pupuk hijau.
Jenis-jenis yang biasa digunakan Calopogonium muconoides, Calopogonium caerelum, Centrosema
pubescens, dan Pueraria javanica. Jenis-jenis ini dapat berkembang secara
cepat dalam waktu 1-3 tahun setelah tanam, tetapi setelah itu cepat menjadi
jarang kalau naungan pohon utama telah terbentuk (TBM sampai TM). Legume Cover Crops (LCC)
berfungsi menahan pukulan hujan, menahan laju air limpasan, menambah N,
menambah bahan organik, mengurangi pencucian unsur hara, dan menekan
pertumbuhan gulma khususnya Imperata
cylindrica dan Sorghum balepense.
Dampak erosi yang terjadi ternyata turut serta
menyumbangkan penurunan produktivitas lahan khususnya keharaan tanah. Erosi
yang terjadi menghilangkan lapisan tanah yang subur. Dimana hara yang
diperlukan tanaman turut hilang bersamaan dengan kejadian erosi seperti pada
Tabel 15, hal ini sejalan dengan pendapat Waluyo (2003) adanya kehilangan hara
khususnya jumlah N yang relatif besar, diikuti jumlah P dan K yang lebih kecil.
Berbeda
dengan Waluyo, maka Sutono (2008) menyatakan bahwa kehilangan hara akibat erosi
didominasi N khususnya N-organik karena hara ini termasuk memiliki mobilitas
yang tinggi, selanjutnya K karena merupakan kation yang mudah tercuci,
sementara P relatif sedikit hilang walaupun merupakan anion karena biasanya P
terikat kuat dalam partikel tanah. Potensi kehilangan hara total berdasarkan
erosi total terbesar adalah 374,4 kg th-1 untuk N setara dengan 831
kg Urea, untuk K adalah 29, 3 kg th-1 (K2O) setara dengan
33,4 kg 70,6 KCl, serta P sebesar 5,24 kg th-1 (P2O5)
setara dengan 33,4 kg SP-36.
Hara yang hilang
terutama untuk P dan K dalam penelitian ini hanya pada kondisi hara tersedia,
sebenarnya selain hara yang tersedia ada juga hara yang terikat kuat oleh
partikel tanah. Kehilangan P-total nilainya berkisar 3-5 kali dari P tersedia,
sementara K-total 1-4 kali dari K tersedia (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Mengingat besarnya potensi kehilangan hara akibat erosi terhadap produktivitas lahan, maka perlu
dilakukan upaya konservasi
tanah dengan mekanik dan vegetatif tadi serta menggunakan kembali sisa-sisa
dari tanaman sawit sendiri seperti tandan kosong sawit, pelepah daun serta abu
janjang kelapa sawit sebagai sumber hara dan bahan organik. Penggunaan pupuk
sendiri tidak bisa dihindari dalam produksi kelapa sawit sehingga pemilihan
jenis pupuk sebagai sumber hara bagi kelapa sawit sangat penting. Kondisi erosi
yang menggerus hara bisa disikapi dengan penggunaan pupuk majemuk lambat
tersedia (PMLT).
Keterbatasan
dalam penelitian ini adalah masih sempitnya interval besar kemiringan lereng
(0-15%) dan variasi umur tanaman yang masih relatif muda (1-4 tahun) sehingga
masih memungkinkan untuk diteliti lebih lanjut jika besar kemiringan lereng di
atas 15% dan umur tanaman di atas 5 tahun apakah juga mempengaruhi erosi yang
terjadi.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil analisis data dan pembahasan pendugaan erosi dan potensi
kehilangan hara pada sistem usahatani kelapa sawit di Kecamatan Manuhing Kabupaten Gunung
Mas berdasarkan faktor-faktor yang diamati, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a. Berdasarkan prediksi erosi yang dilakukan, nilai erosi (A) terbesar adalah 135,11 t ha-1 thn-1
dengan erosi total 220,23 t th-1, sementara erosi terkecil adalah 9,26 t ha-1 thn-1
dengan erosi total 24,08 t ha-1 thn-1.
b. Potensi kehilangan N terbesar adalah 374, 4 kg th-1
(setara 832 kg Urea), sementara 35,2 kg th-1 merupakan yang terkecil. Potensi kehilangan P terbesar adalah 5,24 kg th-1
(setara 33,4 kg SP-36), sementara terkecil 0,35 kg th-1. Potensi
kehilangan K terbesar adalah 29,3
kg th-1 (setara 70,6 kg KCl) sementara terkecil sebesar 0,7 kg th-1.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka dapatlah
disarankan sebagai berikut:
a. Perlunya dilakukan upaya pengelolaan konservasi tanah khususnya untuk
lokasi yang tergolong erosinya sedang sampai dengan tinggi.
b. Secara umum penelitian ini memiliki keterbatasan terutama rentang
kemiringan lereng dan umur tanaman sehingga diperlukan penelitian dengan
variasi kemiringan lereng terutama untuk di atas 15% dan umur tanaman sampai dengan
di atas 5 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A.,
A.A. Id, dan Y. Soelaeman. 2003. Keragaan dan Dampak Penerapan Sistem Usaha
Tani Konservasi Terhadap Tingkat Produktivitas Lahan Perbukitan Yogyakarta.
Jurnal Litbang Pertanian 22 (2): 49-56
Arsyad, S. 2007.
Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Asdak. 2006.
Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Ayudyaningrum,
P. 2006. Pengaruh Jarak Simpanan Depresi Terhadap aliran Permukaan dan Erosi
pada Tanah Latosol Darmaga. Skripsi. JurusanTanah. IPB.
BPS Kalteng.
2006. Kalimantan Tengah dalam Angka. Badan Pusat Statistik, Kalimantan
Tengah. Palangka Raya
Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Gunung Mas. 2009. Luas dan
Jenis Penggunaan Lahan di Kabupaten Gunung Mas.
Erfandi, D., I. Juarsah, dan U. Kurnia. 2001.
Perbaikan sifat fisik tanah Ultisol Jambi, melalui pengelolaan bahan organik
dan guludan. hlm. 171−180. Dalam A. Sofyan, G. Irianto, F. Agus, Irawan,
W.J. Suryanto, T. Prihatini, M. Anda (Ed.). Prosiding Seminar Nasional
Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk, Cipayung, 31
Oktober−2 November 2000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Firmansyah,
M. A. 2007. Prediksi Erosi Tanah Podsolik Merah Kuning
Berdasarkan Metode USLE di Berbagai Sistem Usahatani. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian 10 (1): 20-29.
Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Jurusan Tanah,
Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Hardjowigeno, S dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi
Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Isa, A., F.S. Zauyah, dan G. Stoops. 2004.
Karakteristik mikromorfologi tanah-tanah volkanik di daerah Banten. Jurnal
Tanah dan Iklim 22: 1−14.
Latifah,
S. 2003. Kegiatan reklamasi tanah pada bekas tambang. Tesis USU. Program
Kehutanan. Jurusan Manajemen Hutan. Universitas Sumatera Utara
Lubis, A. 2004. Pengaruh Modifikasi Sistem Microcacthment terhadap Aliran Permukaan,
Erosi serta Pertumbuhan dan Produksi Kacang Tanah pada Pertanian Lahan Kering.
Skripsi. Jurusan Tanah. IPB.
Murtilaksono, K., W. Darmosarkoro, E.S. Sigit, H.H.
Siregar dan Y. Hidayat. 2009. Upaya Peningkatan Produksi Kelapa Sawit melalui
Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Air. J. Tanah Trop 14 (2): 135−142.
Pahan, I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen
Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.
Prasetyo, B.H., D. Subardja, dan B. Kaslan. 2005.
Ultisols dari bahan volkan andesitic di lereng bawah G. Ungaran. Jurnal Tanah
dan Iklim 23: 1−12.
Purwowidodo. 1999. Konservasi Tanah di Kawasan Hutan.
Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.
Putri, L.A.P. 2003. Pengelolaan PenutupTanah. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1130/1/tanah-lollie.pdf. 15 Juli 2012
Rahim, S.E. 2003. Pengendalian Erosi Tanah: Dalam
Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Bumi Aksara. Jakarta.
Santosa, W. 1985. Aliran Permukaan dan Erosi pada
Tanah yang Tertutup oleh Tanaman Teh dan Hutan Alam di Gambung. Fakultas Pasca
Sarjana IPB.
Soepraptohardjo, M. 1961. Tanah merah di Indonesia.
Contr. Gen. Agric. Res. Sta. No. 161. Bogor.
Soil Survey Staff. 2003. Keys to Soil Taxonomy. USDA,
Natural Research Conservation Service. Ninth Edition. Washington D.C.
Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2004.
Tanah-tanah pertanian di Indonesia. hlm.
21−66. Dalam A. Adimihardja, L.I. Amien, F. Agus, D. Djaenudin (Ed.).
Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Suripin. 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit
ANDI.Yogyakarta
Sutono, S. 2008. Kerugian Petani Akibat Erosi. Warta Sumberdaya Lahan 3(4):
1-2.
Veiche, A. 2002. The spatial Variability of Erodibility and Its Relation to
Soil Types: A study from Northern Ghana. Geoderma 106: 100-120