Indonesia sebagai negara tropis hanya mengenal dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Beberapa puluh tahun yang lalu kedua musim ini sangat mudah diprediksi sehingga dalam dunia pertanian dikenal dua musim tanam yaitu ASEP (April - September) dan OKMAR (Oktober-Maret). Sebenarnya prediksi cuaca di Indonesia sangat sulit dijamin akurasinya karena bentang lahan khususnya topografi yang sangat bervariasi.
Ketika musim penghujan maka kelimpahan air bahkan terkadang menyebabkan banjir yang meminta korban (dalam kelimpahan ada bencana). Panen air ini hanya sesaat karena sudah berkurangnya daerah tangkapan hujan (catchment area). Berdasarkan data pemantauan lapangan kejadian banjir dan kekeringan,
maka ada tiga faktor dominan penyebab banjir yang harus diperhitungkan
yaitu faktor klimatologis, hidrologis dan agronomis. Letak geografis
diantara dua benua, dan dua samudra serta terletak di sekitar garis
khatulistiwa merupakan faktor klimatologis dominan keragaman iklim
penyebab banjir dan kekeringan di Indonesia. Posisi geografis ini
menyebabkan Indonesia berada pada belahan bumi dengan iklim monsoon
tropis yang sangat sensitif terhadap anomali iklim baik El-Nino Southern
Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole Mode (IOD) maupun Median
Jullien Oscillation (MJO). ENSO menyebabkan terjadinya kekeringan
apabila menghangat (El Nino), sebaliknya menyebabkan terjadinya banjir
jika pendinginan (La Nina). Pengaruh IOD dibagi menjadi dua, IOD
positif menyebabkan penurunan di wilayah Indonesia bagian selatan,
sedangkan IOD negatif menyebabkan terjadinya curah hujan tinggi di
wilayah yang sama. Sementara MJO akan berpengaruh pada awal musim hujan
yang dimulai dari bagian barat Sumatera bergerak terus ke timur.
Hasil analisis iklim 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan terbentuknya pola iklim baru yang mengarah terjadinya perubahan iklim. Tahun 2007 perubahan itu antara lain dicirikan terjadinya dua periode musim kemarau dan musim hujan dalam satu tahun (), sehingga pola curah hujan berubah dari mono modal menjadi bimodal. Dampak negatif terhadap sektor pertanian yang paling signifikan adalah bergesernya awal musim hujan dengan banjirnya dan kemarau dengan kekeringannya. Implikasi langsungnya adalah kacaunya pola tanam, perubahan durasi musim dan intensitasnya. Perubahan iklim ini diperburuk dengan terjadinya degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS), sehingga mengganggu neraca air hidrologis.
Hasil analisis iklim 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan terbentuknya pola iklim baru yang mengarah terjadinya perubahan iklim. Tahun 2007 perubahan itu antara lain dicirikan terjadinya dua periode musim kemarau dan musim hujan dalam satu tahun (), sehingga pola curah hujan berubah dari mono modal menjadi bimodal. Dampak negatif terhadap sektor pertanian yang paling signifikan adalah bergesernya awal musim hujan dengan banjirnya dan kemarau dengan kekeringannya. Implikasi langsungnya adalah kacaunya pola tanam, perubahan durasi musim dan intensitasnya. Perubahan iklim ini diperburuk dengan terjadinya degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS), sehingga mengganggu neraca air hidrologis.
Implikasinya, terjadinya kelebihan air
pada musim hujan dan atau kekurangan air pada musim kemarau, sehingga
menyebabkan banjir dan atau kekeringan di lahan pertanian, kerusakan
pertanaman padi, menurunnya produksi bahkan di beberapa wilayah
mengalami puso.
Secara ilmiah, variabilitas iklim antar wilayah dan waktu akibat anomali dan atau perubahan iklim tidak dapat dikendalikan. Antisipasi melalui pendekatan adaptasi yang paling operasional adalah pendekatan klimatologis, hidrologis dan agronomis yang selama ini belum optimal dilakukan petani. Berdasarkan pelajaran dan pengalaman kejadian banjir dan kekeringan sebelumnya, maka sudah selayaknya sektor pertanian dirancang lebih bersahabat dengan fenomena tersebut melalui adaptasi jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Dengan peningkatan kemampuan sumber daya petani, diharapkan petani akan lebih menyadari dan lebih disiplin dalam mentaati jadwal tanam yang ketat dan pilihan komoditas yang tepat.
Secara faktual faktor determinan penyebab
banjir dan kekeringan adalah kondisi iklim ekstrim, terganggunya
keseimbangan hidrologis, dan penggunaan lahan yang tidak sesuai
peruntukannya. Besaran banjir dan kekeringan sangat ditentukan jumlah,
intensitas faktor penyebab serta durasi terjadinya.
Penyimpangan iklim akibat ENSO, IOD dan MJO menyebabkan produksi uap air dan awan di sebagian Indonesia bervariasi dari ekstrimitas tinggi ke rendah atau sebaliknya, sehingga menyebabkan penyimpangan iklim terhadap kondisi normalnya. Interaksi ketiga faktor tersebut sangat menentukan besaran faktor klimatologis yang terjadi.
Kekeringan dan banjir juga dipengaruhi faktor hidrologis yang diindikasikan dari perbedaan debit sungai maksimum dan minimum. Kerusakan hidrologis umumnya terjadi akibat degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama bagian hulu yang lerengnya terjal dan mengalami alih fungsi lahan dari bervegetasi menjadi non vegetasi yang tidak meloloskan air (impermeable). Menurut data Departemen Kehutanan, dari 470 DAS di Indonesia, 62 DAS diantaranya kritis, sehingga seringkali mengalami banjir dan kekeringan. Sesuai dengan kesepakatan tiga menteri (Menteri PU, Kehutanan, dan Pertanian) tanggal 9 Mei 2007 di Bogor, maka dalam rangka penyelamatan sumber daya air, DAS-DAS kritis tersebut menjadi prioritas penanganan antar sektor (DAS kritis prioritas terlampir). Produksi sedimen yang tinggi akan mendangkalkan waduk, sungai dan saluran, sehingga menurunkan kinerja layanan irigasi. Laju kerusakan yang jauh lebih tinggi dibandingkan rehabilitasinya, menyebabkan masalah banjir dan kekeringan di wilayah hilir semakin besar.
Penyimpangan iklim akibat ENSO, IOD dan MJO menyebabkan produksi uap air dan awan di sebagian Indonesia bervariasi dari ekstrimitas tinggi ke rendah atau sebaliknya, sehingga menyebabkan penyimpangan iklim terhadap kondisi normalnya. Interaksi ketiga faktor tersebut sangat menentukan besaran faktor klimatologis yang terjadi.
Kekeringan dan banjir juga dipengaruhi faktor hidrologis yang diindikasikan dari perbedaan debit sungai maksimum dan minimum. Kerusakan hidrologis umumnya terjadi akibat degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama bagian hulu yang lerengnya terjal dan mengalami alih fungsi lahan dari bervegetasi menjadi non vegetasi yang tidak meloloskan air (impermeable). Menurut data Departemen Kehutanan, dari 470 DAS di Indonesia, 62 DAS diantaranya kritis, sehingga seringkali mengalami banjir dan kekeringan. Sesuai dengan kesepakatan tiga menteri (Menteri PU, Kehutanan, dan Pertanian) tanggal 9 Mei 2007 di Bogor, maka dalam rangka penyelamatan sumber daya air, DAS-DAS kritis tersebut menjadi prioritas penanganan antar sektor (DAS kritis prioritas terlampir). Produksi sedimen yang tinggi akan mendangkalkan waduk, sungai dan saluran, sehingga menurunkan kinerja layanan irigasi. Laju kerusakan yang jauh lebih tinggi dibandingkan rehabilitasinya, menyebabkan masalah banjir dan kekeringan di wilayah hilir semakin besar.
Lahan pertanian terutama di daerah hilir
yang sumber airnya dari bendung atau bendungan (bangunan penangkap air
di sungai) kinerjanya sangat dipengaruhi kerusakan hidrologis akibat
menurunnya kapasitas tampung saluran dan pasokan air secara signifikan.
Kerusakan hidrologis daerah tangkapan air bagian hulu menyebabkan waduk
dan saluran irigasi terisi sedimen, sehingga kapasitas tampung air
menurun tajam. Terjadinya curah hujan ekstrim tinggi menyebabkan airnya
melimpas sehingga terjadilah banjir. Sebaliknya, rendahnya cadangan air
waduk yang disimpan pada musim penghujan menyebabkan cadangan air musim
kemarau sangat rendah sehingga merupakan pemicu terjadinya kekeringan.
Kerusakan hidrologis juga menyebabkan
aliran air sungai menurun drastis atau bahkan tidak ada sama sekali.
Data dari Departemen PU, menunjukkan bahwa terdapat 5.590 sungai induk
yang terhimpun kedalam 89 Satuan Wilayah Sungai (SWS). Dari sejumlah
sungai induk tersebut, 600 sungai diantaranya berpotensi menimbulkan
banjir, 62 diantaranya tergolong kritis dan super kritis.
Penentuan jadwal tanam dan pemilihan
jenis komoditas tanpa memperhitungkan ketersediaan air merupakan
penyebab terjadinya kekeringan agronomis. Fenomena ini banyak dijumpai
pada lahan sawah irigasi golongan III ke atas, lahan-lahan tadah hujan
ataupun areal gadu liar. Dampak negatif yang paling ekstrim akibat gadu
liar adalah puso. Kekeringan agronomis umumnya terjadi akibat kebiasaan
(habit) petani yang memilih memaksakan menanam padi walaupun
ketersediaan airnya tidak mencukupi. Diperlukan bimbingan dan penyuluhan
intensif, percontohan penyesuaian dan pengawalan pola tanam yang tepat,
pembukaan peluang pasar komoditas alternatif, serta pemberdayaan petani
untuk mengurangi beban kerugian yang dialami.
Wilayah Banjir dan Kekeringan
Wilayah banjir dan kekeringan sebagian besar berada di daerah aliran sungai yang kondisi hidrologisnya mengalami kerusakan. Wilayah banjir umumnya tersebar di :
Dataran rendah dan berdrainase buruk, Sepanjang wilayah sungai terutama dataran banjir (flood plain) dan
Daerah pantai.
Wilayah kekeringan umumnya tersebar di
Areal pertanian tadah hujan, Daerah irigasi golongan 3, Daerah gadu liar, Daerah endemik kekeringan.
Pengelolaan
Sampai saat ini data, peta dan informasi tabular, spasial dan temporal
tentang banjir dan kekeringan masih dikumpulkan dan disimpan di berbagai
instansi Pemerintah seperti Departemen Pekerjaan Umum, Badan Koordinasi
Penanggulangan Bencana, Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan,
Kantor Menteri Lingkungan Hidup, Departemen Dalam Negeri, Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional maupun swasta. Fragmentasi data dan
informasi banjir dan kekeringan ini sangat menyulitkan dalam
identifikasi dan karakterisasi, representasi dan rekonstruksi faktor
penyebab, risiko dan model pengelolaannya. Dampaknya, penanganan banjir
dan kekeringan lebih banyak dilakukan secara ad hock, partial, sesaat
berdasarkan tugas pokok fungsi instansi dan interes prioritasnya.
Rendahnya sinergi ini menyebabkan masalah banjir dan kekeringan sampai
saat ini tidak dapat diturunkan besarannya sekalipun biaya yang
dibelanjakan pemerintah (goverment expenditure) terus meningkat.
Diperlukan kerangka pikir dengan pendekatan menyeluruh terhadap fakta
empirik banjir dan kekeringan agar dapat memosisikan tugas, tanggung
jawab dan kewajiban semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan banjir
dan kekeringan.
Berdasarkan kerangka pikir hubungan
timbal balik antara faktor penyebab, akibat dan upaya, maka tahapan dan
kegiatan utama dalam pengelolaan banjir dan kekeringan dapat
direpresentasikan. Informasi ini selanjutnya harus disosialisasikan
kepada semua pemangku kepetingan untuk disepakati, dilaksanakan dan
diawasi bersama. Pemerintah perlu membuka kesempatan yang proporsional
terhadap semua pihak untuk sharing (pengetahuan, pengalaman dan
sumberdaya) serta berpartisipasi aktif agar masalah banjir dan
kekeringan dapat diselesaikan sampai akarnya.
Pengelolaan banjir dan kekeringan harus
dilakukan melalui pendekatan strategis, antisipatif, dan operasional.
Cetak biru ini difokuskan pada ketiga pendekatan yang partisipastif dari
seluruh pemangku kepentingan berdasarkan prioritas wilayah penanganan
kerawanan banjir dan kekeringan. Pendekatan tersebut meliputi: penentuan
prioritas pengelolaan banjir dan kekeringan, identifikasi faktor
penyebab banjir dan kekeringan serta metode pengelolaannya.
Prioritas
Sedangkan prioritas pengelolaan banjir
dan kekeringan dilakukan berdasarkan kombinasi dari tiga pendekatan:
klimatologis, hidrologis, dan agronomis, dengan memperhitungkan tingkat
kemudahan dan pembiayaannya. Penetapan prioritas dilakukan secara
partisipatif oleh pemangku kepentingan, petani dan petugas lapangan.
Prioritas I:
Klimatologis: Wilayah yang sangat rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah Aliran Sungai (DAS)
dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan berat
atau penyebab lainnya, sehingga terjadi banjir dan kekeringan
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra produksi padi.
Prioritas II :
Klimatologis : Wilayah yang rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah aliran sungai dan
atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan sedang
atau penyebab lainnya, sehingga terjadi banjir.
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra produksi padi.
Prioritas III :
Klimatologis: Wilayah yang agak rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah aliran sungai dan
atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan ringan
atau penyebab lainnya sehingga terjadi banjir.
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra produksi padi.
Fenomena ini sudah sering terjadi maka kepekaan dalam kondisi ini harus segera ada tindak lanjut agar bisa mensejahterakan masyarakat Indonesia.
Sumber: Dirangkum dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar