Jumat, 14 Mei 2010
Mengenal GAMBUT Terkini
SEAKAN melengkapi berbagai predikat tidak sedap yang telah disandang sebelumnya, Indonesia kini menyandang predikat baru di bidang lingkungan, yakni sebagai salah-satu negara kontributor utama pemanasan global. Mengutip laporan yang disampaikan oleh Sir Nicholas Stern, Kepala Ekonomi dan Penasihat Pemerintah Inggris untuk Urusan Efek Ekonomi Perubahan Iklim dan Pembangunan saat berkunjung ke Indonesia beberapa tahun lalu, Indonesia menduduki peringkat keempat setelah Amerika Serikat, Uni Eropa dan China dalam memberikan kontribusi terhadap pemanasan global. Uniknya, besarnya kontribusi Indonesia bukan karena aktivitas industrinya, tetapi lebih disebabkan oleh emisi yang terbuang dari peristiwa kebakaran hutan yang hampir rutin terjadi di negeri ini setiap tahunnya.
Dampak sosial-ekonomi dan lingkungan yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan di Indonesia sungguh luar biasa. Sebagai gambaran, kebakaran hutan berskala besar tahun 1997-98 telah menyebabkan sekitar 10 juta hektar lahan rusak atau terbakar dengan nilai kerugian mencapai sekitar 3 milyar dollar Amerika. Dari segi dampak lingkungan, kebakaran ini juga telah melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon ke atmosfer. Angka ini setara dengan 13-40 persen total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya. Kebakaran hutan serupa dalam skala yang berbeda-beda ternyata terus berulang setiap tahunnya. Dengan sedemikian, wajar jika kebakaran hutan di Indonesia memberikan kontribusi yang signifikan bagi terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global.
Salah-satu realitas penting yang perlu dipahami dari fenomena pemanasan global yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa kebakaran hutan di Indonesia adalah keterkaitannya dengan peran lahan gambut. Berdasarkan Laporan WWF Indonesia, 60 persen dari polusi asap di Indonesia, termasuk emisi karbon, bersumber dari kebakaran lahan-lahan gambut yang menutupi hanya 10-14 persen dari daratan Indonesia. Karena itu, kemampuan Indonesia dalam menyelamatkan lahan-lahan gambutnya dari kebakaran akan memberikan dampak signifikan dalam mengurangi pemanasan global. Sebaliknya, membiarkan kebakaran lahan gambut terus terjadi sama saja dengan memacu lebih cepat lagi pemanasan global dengan segala risikonya seperti ketidakpastian iklim yang menyebabkan kegagalan panen, tenggelamnya pesisir pantai dan sebagainya.
Penyimpan karbon
Kalangan awam umumnya menganggap bahwa lahan gambut merupakan lahan yang tidak produktif. Selain karena miskin hara, kondisinya yang selalu tergenang (rawa gambut) menjadi kendala pula dalam upaya pemanfaatannya sebagai lahan pertanian. Oleh karena itu, didorong oleh pemikiran pragmatis untuk menjadikannya produktif semakin banyak rawa gambut yang dibuka dan dikeringkan. Caranya adalah dengan membangun kanal-kanal untuk menurunkan permukaan air tanah atau menghilangkan air di permukaan tanah.
Namun dibalik kesan ketidakproduktifannya itu, lahan gambut sesungguhnya memiliki manfaat yang sedemikian vital dalam menjaga keseimbangan ekologis di bumi. Pertama-tama, lahan-lahan gambut merupakan tempat 'penyimpanan' karbon yang sangat penting. Meskipun areal gambut hanya menutupi sekitar 3 persen dari luas bumi, namun ia menyimpan 20-35 persen dari seluruh karbon yang tersimpan di permukaan bumi. Bahkan lahan-lahan gambut tropik, seperti di Asia Tenggara, mempunyai kapasitas penyimpanan karbon yang sangat tinggi, yakni mencapai 3-6 kali lebih tinggi dibanding lahan-lahan gambut di daerah beriklim sedang.
Selain berfungsi sebagai penyimpan karbon, secara alamiah lahan gambut juga memiliki fungsi-fungsi ekologi yang penting terutama dalam mengatur air di dalam dan di permukaan tanah. Hal ini dimungkinkan karena gambut memiliki sifat seperti spons sehingga mampu menyerap air yang berlebihan dan kemudian melepaskannya secara kontinyu dan perlahan-lahan. Dengan kemampuannya ini, air akan tetap mengalir secara konsisten dan karena itu menghindari terjadinya banjir dan juga kekeringan. Jangan lupa pula, lahan gambut juga sangat kaya akan keanekaragaman jenis hayati dan hanya dijumpai di daerah rawa-rawa gambut.
Jadi, air jelas merupakan fondasi utama dari lahan gambut yang baik. Dengan dibukanya hutan gambut secara serampangan, hal ini tentunya akan mempengaruhi fungsi hidrologisnya. Karena gambut bersifat seperti spons (menyerap air), maka pada saat lahan tersebut dibuka akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang tadinya bersifat hidropobik itu tidak mampu lagi menyerap air dan kemudian mengering. Ketika proses ini terjadi karbon yang tersimpan pun dilepaskan sehingga mengakibatkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran dan memacu pelepasan emisi karbon lebih lanjut.
Pentingnya kearifan
Berdasarkan uraian di atas, jelas dibutuhkan kearifan dari semua pihak dalam mengelola sumberdaya lahan gambut tersebut sedemikian sehingga fungsi-fungsi ekologisnya tetap terjaga. Cara terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan-lahan gambut adalah dengan tetap membiarkannya secara alami serta memberikan perhatian khusus terhadap aspek-aspek pengelolaan air yang baik, pemanfaatan lahan yang sesuai, dan pengelolaan hutan yang lestari. Hal ini berarti drainase/pengeringan dan konversi kawasan rawa-gambut harus dicegah.
Kegagalan dalam mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut seperti yang terjadi selama ini tentu saja harus dibayar mahal. Hal ini karena pemadaman kebakaran di areal gambut relatif sangat sulit, mahal dan dapat menimbulkan kerusakan ekologis dalam jangka-panjang. Sulitnya memadamkan areal gambut yang terbakar karena areal yang terbakar bukan hanya di bagian atas tetapi juga di bawah permukaan. Dalam kondisi seperti itu, metode-metode pemadaman kebakaran yang mungkin diterapkan menjadi mahal. Misalnya, untuk mengendalikan kebakaran yang melanda lahan gambut secara efektif, gambut yang terbakar harus digali atau digenangi dengan air. Akan tetapi, karena kebakaran umumnya terjadi di musim-musim kering dimana air jarang tersedia, maka penggenangan lahan gambut bukanlah suatu opsi yang dapat dilakukan.
Di lain pihak, jika api di lahan gambut gagal dipadamkan, maka api tersebut dapat terus menyala di bawah permukaan untuk jangka waktu yang lama (bahkan tahunan) sehingga dapat menimbulkan kebakaran baru ketika cuaca menjadi lebih kering kembali. Selanjutnya, api yang menyala di bawah permukaan itu merusak sistem perakaran pohon sehingga pohon-pohon tersebut menjadi tidak stabil dan kemudian tumbang atau mati. Pada gilirannya, sisa-sisa pepohonan tersebut akan menjadi bahan bakar yang potensil untuk memicu kebakaran berikutnya.
Dengan demikian, tidak ada cara yang paling efektif dan murah dalam mengatasi kebakaran lahan gambut selain dengan melakukan upaya-upaya preventif yang tepat. Pemerintah sebenarnya telah menyadari dan memperhatikan berbagai komplikasi yang timbul sehubungan dengan kebakaran lahan gambut. Untuk itu, pemerintah secara khusus telah melarang segala macam bentuk penggunaan api di kawasan-kawasan gambut, namun anehnya izin pengkonversian dan pengembangan kawasan-kawasan tersebut tetap saja diberikan. Bahkan sejak kebakaran hutan tahun 1997-1998, hampir tidak ada tindakan resmi yang diambil untuk menghukum berbagai perusahaan yang terlibat dalam pembakaran.
Jadi, permasalahan kebakaran hutan di Indonesia sebenarnya bukanlah pada kurangnya perangkat hukum dan peraturan yang mengatur tentang upaya pencegahan kebakaran hutan, tetapi lebih terletak pada miskinnya implementasi perangkat-perangkat tersebut di lapangan. Hal ini sebenarnya merupakan masalah klasik yang hampir terjadi di semua sektor. Ke depan, penegakkan hukum-hukum lingkungan (khususnya terkait kebakaran hutan dan lahan) seharusnya menjadi prioritas jika Indonesia tidak ingin terus menyandang predikat sebagai kontributor utama polusi di bumi atau negara yang hanya bisa mengkspor kabut asap ke negara-negara tetangga.
Selain itu, upaya lainnya yang tidak kalah penting adalah memberikan penyadaran kepada semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) khususnya dunia usaha (swasta/BUMN) maupun masyarakat terkait konservasi lahan gambut. Dunia usaha harus didorong untuk melaksanakan praktek-praktek pengelolaan lestari dan bertanggung jawab termasuk meniadakan pembakaran lahan dan melindungi daerah-daerah yang memiliki keanekaragaman hayati di sekitar lokasi konsensi mereka. Bersamaan dengan itu, pemerintah dan sektor swasta pun harus mampu memberdayakan masyarakat lokal dalam hal pengelolaan lahan yang lestari, terutama dalam membantu petani/pekebun skala kecil dalam proses alih ilmu dan teknologi untuk menerapkan pembukaan lahan tanpa bakar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar