Rabu, 21 Desember 2011

REDD+


RESUME

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL
“BAGAIMANA PELAKSANAAN REDD+ DI KALIMANTAN TENGAH BERMANFAAT BAGI SEMUA PEMANGKU KEPENTINGAN?”
PALANGKARAYA, 17 NOVEMBER 2011




Oleh :
GOALTER ZOKO
NIM.CFA 210 017



Konservasi dan Sumberdaya Lingkungan
Program Pendidikan Magister
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan






PROGRAM PASCA SARJANA
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
TAHUN 2011


            Dalam seminar dan Lokakarya ini menghadirkan 2 narasumber yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Adapun 2 narasumber itu adalah Prof.Dr. Daniel Murdiyarso dan Dr. Dayu Resosudarmo. Adapun topik yang dikemukakan narasumber ini antara lain:
1.      Hutan Tropis untuk Mitigasi Perubahan Iklim oleh Prof.Dr. Daniel Murdiyarso
2.      Proses Kebijakan REDD di Indonesia oleh Dr. Dayu Resosudarmo


Secara ringkas dapat disajikan sebagai resume dari masing-masing narasumber sebagai berikut sesuai dengan topik seminar yang disajikan.

1.    HUTAN TROPIS UNTUK MITIGASI PERUBAHAN IKLIM
Pada topik ini dipaparkan bahwa Hutan yang merupakan 15% dari bagian permukaan bumi memegang peranan sangat penting karena merupakan rumah atau habitat bagi makhluk hidup. Pentingnya makna hutan ini karena menyangkut kehidupan sosial ekonomi bagi manusia juga. Hutan tropis merupakan salah satunya yang saat ini sangat penting bagi dunia. Indonesia sendiri sebagai salah satu pemilik hutan terbesar untuk hutan tropis di dunia juga turut andil untuk memikirkan hal ini. Kawasan hutan di Indonesia memiliki luas sekitar 187,6 juta hektar. Adapun kawasan tersebut terbagi dalam 4 kawasan yaitu:
·         Hutan Produksi
·         Hutan Lindung
·         Hutan Konservasi
·         Hutan untuk penggunaan lainnya
Dengan luasan dan kawasan yang dimiliki Indonesia ini maka ada semacam tanggung jawab yang dipikul oleh Indonesia. Selain bagi manusia, merupakan habitat bagi spesies-spesies tertentu bahkan menjadi rumah berbagai keanekaragaman hayati yang ada.
Sungguh sangat disayangkankan jika diketahui bahwa deforestasi hutan yang terjadi menyebabkan sekitar 6 milyar ton CO2 per tahun atau 20% dari emisi global. Hal tersebut menambah lajunya perubahan iklim  walaupun ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi perubahan iklim tersebut.
Pada konteksnya hutan terlebih lahan gambut yang begitu penting di Indonesia karena mempengaruhi perubahan iklim dan merupakan sumber emisi terbesar jika laju deforestasi yang terjadi juga besar.
Karbon sesungguhnya merupakan harta terpendam yang akan terlepas menjadi emisi karbon jika tidak ada tutupan lahan akibat laju deforestasi yang terjadi. CO2 yang dilepas tesebut akan meningkatkan konsentrasi  gas rumah kaca (GRK) di atmosfer yang memerangkap panas yang di pancarkan ke permukaan bumi. Akibat terjadinya penurunan potensi hutan dari waktu kewaktu akibat degradasi maupun deforestasi hutan maka sangat diperlukan tindakan pencegahan maupun perbaikan hutan yaitu melalui proses mitigasi maupun adaptasi.
Adaptasi yaitu dengan melakukan beberapa kebijakan maupun kegiatan, seperti :
a.         Menjamin bahwa adanya luasan hutan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air memiliki tutupan lahan yang cukup untuk menahan erosi tanah dan mengantisipasi curah hujan yang intesitasnya semakin tinggi akibat perubahan iklim.
b.        Menyediakan koridor hutan agar jenis tumbuhan dan satwa dapat berpindah atau dipindahkan ke tempat atau ruang dengan iklim yang sesuai dengan kepeluan hidupnya.
c.         Membuat mintakat penyangga (buffer zones) untuk menghentikan menjalarnya kebakaran hutan.
d.        Menanam jenis pohon yang lebih toleran terhadap suhu yang lebih tinggi dan cuaca ekstrem.dll
Mitigasi yaitu upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim dengan sasaran sumber dan penyebabnya. Mitigsi mengutamakan pengurangan emisi dari bahan bakar fosil di negara-negara indusri. Selain itu dapat juga dilakukan penanaman pohon walaupun pengaruhnya kecil.
Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono “Indonesia melakukan perubahan kebijakan...yang akan mengurangi emisi sampai 26% pada 2020 dibandingkan dengan kondisi BAU (Bussines as Usual). Dengan dukungan internasional kami dapat mengurangi emisi sampai 41%”
“Kami akan mengubah status hutan dan net emmiter (mengemisikan karbon) menjadikan net sink (menyimpan karbon) pada 2030”
Dalam mewujudkan pengurangan emisi maka perlu juga diadakan pendekatan konservasi yang baru dan lebih efektif yaitu program REDD (Reducing emissions from deforestation and forest degradation atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan).
Penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) disepakati di Bali pada sesi ke-13.  Konferensi Para Pihak (COP 13) Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim  (UNFCCC), sebagai mekanisme  global  mitigasi perubahan iklim. Mekanisme yang sekarang disebut REDD+ ini meliputi rangkaian kegiatan yang lebih luas, termasuk konservasi hutan, pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan cadangan karbon melalui penghutanan (aforestasi) dan penghutanan kembali (reboisasi).
Pada tanggal 26 Mei 2010, pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Norwegia menandatangani Surat Pernyataan Kehendak (LoI) tentang REDD+. Berdasarkan LoI ini Indonesia sepakat untuk melakukan beberapa tindakan antara lain:
-       Menyusun Strategi Nasional tentang REDD+
-       Menetapkan Badan khusus untuk menerapkan strategi REDD+ termasuk system pemantauan, pelaporan (MRV) atas pengurangan emisi dan instrument keuangan untuk penyaluran dana
-       Mengembangkan dan menerapkan instrument kebijakan serta kemampuan untuk melaksanakannya, termasuk penundaan selama dua tahun bagi pemberian ijin HPH baru untuk konversi kawasan lahan gambut dan hutan alam untuk penggunaan lainnya

            Komitmen ini sesuai dengan janji suka rela Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diumumkan tahun sebelumnya untuk mengurangi emisi gas sumah kaca Indonesia sebesar 26% pada tahun 2020 dengan sumber daya keuangan dalam negeri atau sebesar 41% dengan bantuan internasional. Di lain pihak Pemerintah Norwegia menjanjikan dana hingga AS$1 miliar untuk mendukung sejumlah tindakan Indonesia.
            Hanya satu minggu setelah penandatanganan LoI tersebut pada tanggal 20 Mei 2011, Instruksi Presiden yang dikenal Inpres No. 10/2011 diterbitkan. Inpres ini mengumumkan moratorium hutan yang akan memenuhi salah satu tindakan kesepakatan dalam LoI dan yang paling banyak menarik perhatian public Inpres ini bertujuan untuk menunda pemberian ijin HPH baru untuk penebangan dan konversi hutan dan lahan gambut selama dua tahun sejak tanggal diundangkannya. Penundaan ini memungkinkan pembenahan tata kelola hutan yang lebih baik melalui pelembagaan proses koordinasi dan pengumpulan data dan kemungkinan juga peraturan-peraturan baru yang diperlukan.
            Sementara CIFOR (Center for International Forestery Research) dan beberapa pihak menyambut baik moratorium ini sebagai langkah maju namun dua kelompok lainnya menyambut pengumuman ini dengan cemas dengan alas an yang berbeda. Kelompok itu adalah:
1. Kalangan pengusaha (sebagian anggota dan birokrat) yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa dengan membatasi peluang pembangunan berbasis lahan, moratorium menghambat pertumbuhan ekonomi, dan mereka menegaskan moratorium dapat mebahayakan strategi pembangunan yang mampu menciptakan lapangan kerja dan yang berpihak pada rakyat miskin yang telah diterma secara luas.
2.    Kalangan pemerhati lingkungan yang kecewa atas ruang lingkup moratorium yang sempit dengan berbagai pengecualiannya. Mereka meyatakan bahwa moratorium tidak akan efektif untuk mengurangi emisi karbon dan mengungkapkan kekhawatiran tentang lemahnya rencana tata tuang/tata guna lahan dan tata kelola hutan yang diperlukan secara lebih luas untuk mendukung pelaksanaan moratorium ini.

REDD merupakan mekanisme internasional untuk memberikan insentif bagi negara berkembang yang mampu mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, bersifat sukarela dan menghormati kedaulatan negara dan bentuk mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan.
Mekanisme REDD
Pengurangan emisi atau deforestasi yang dihindari diperhitungkan secara kredit. Jumlah karbon yang diperoleh  dalm waktu tertentu dapat dijual di pasar karbon internasional. Secara alternatif, kredit yang diperoleh dapat diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara-negara peserta yang melakukan konservasi hutannya.
Skema REDD memperbolehkan konservasi hutan untuk berkompetisi secara ekonomis dengan berbagai kegiatan ekonomi lainnya yang memicu deforestasi. Pemicu tersebut saat ini menyebabkan terjadinya pembalakan yang merusak dan konversi hutan untuk penggunaan lainnya, seperti padang pengembalaan ternak, lahan pertanian dan perkebunan.
Ada 4 tantangan yang dihadapi :
a.    Teknologi perhitungan karbon
b.    Pembayaran
c.    Akuntabilitas
d.   Pendanaan
Dari tantangan yang ada sebenarnya tantangan yang terbesar adalah tumpang tindihnya peraturan yang ada serta realisasinya bagi pemerintah di daerah.
Tahapan di Indonesia
a.    Phase Persiapan: 2007
b.    Phase Peralihan (termasuk kegiatan ujicoba): 2008-2012
c.    Phase Pelaksanaan: 2013 atau lebih awal, tergantung keputusan COP dan kesiapan Indonesia
Perkembangannya di Indonesia
a.      Indonesia Forest Climate Alliance
-          Persiapan COP 13
-          Study aspek methodologi (baseline, monitoring, skema pembiayaan)
-          POKJA REDD di Dephut
b.      Kegiatan dari Lembaga Kerjasama Internasional
c.       Demonstration Pilot Project
d.      Draft Permenhut & Kepmenhut – belumadaperkembanganbahkanmunculPermenhut  P68/2008
-          Sosialisasi Publik (Juli 2008)
e.       POKJA REDD Prop & Kab


Perbedaan REDD dan REDD+
Satu tahun setelah rencana aksi bali disetujui, para juru runding mengadakan pertemuan kembali di Poznan, Polandia. Mereka mencapai konsensus umum bahwa kegiatan REDD sebaiknya diperluas.
Sehingga REDD+  menambah tiga areal strategis terhadap dua hal yang telah ditetapkan sebelumnya di Bali. Kelima hal tersebut bertujuan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang. Dua ketetapan awal REDD adalah :
a.       Mengurangi emisi dari deforestasi dan
b.      Mengurangi emisi dari degradasi hutan

Beberapa strategi yang ditambahkan untuk mengurangi emisi melalui :
a.       PerananKonservasi
b.      Pengelolaan Hutan secara Lestari
c.       Peningkatan Cadangan Karbon Hutan
Biaya REDD+
Menurut Stern Review on the economics of climate change, dana yang dibutuhkan untuk momotong sehingga setengah emisi dari sektor hutan sampai dengan tahun2030 dapat berkisa antara $ 17 Milyar dan $ 33 Milyar per tahun..
Uang tersebut dapat diperoleh secara langsung dari skema pendanaan internasional atau program pemerintah regional. Sebagian dana sudah tersedia bagi proyek percontohan REDD melalui pasar karbon secara sukarela, namun sebagian besar uang yang akan disalurkan melalui pasar atau dana baru sebagai hasil negosiasi UNFCCC belum akan tersedia dalam beberapa tahun mendatang.
Di bawah skema REDD+ yang lebih luas, negara-negara yang secara efektif sudah melindungi hutannya juga dapat memperoleh keuntungan. Praktek yang diterapkansecara berkelanjutan yang dapat membantu masyarakat miskin, contohnya perusahaan kayu yang memberikan akses kepada masyarakat lokal untuk dapat memanfaatkan hutan, juga akan diakui dan diberi penghargaan.
Perangkat Hukum Pelaksanaan REDD di Indonesia
Terdapat tiga peraturan Menteri yang telah resmi diundangkan, yaitu:
1.      Permenhut No.P.68/Menhut-II/2008 tentang penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan degradasi hutan (REDD).
2.      Permenhut No.P.30/Menhut-II/2009 tentang Pengurangan Emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD)
3.      Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009 tentang tata cara perizinan usaha pemanfaatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon pada hutan produksi dan hutan lindung.

2.    PROSES KEBIJAKAN REDD DI INDONESIA
Proses Penentuan kebijakan yang terkait dengan REDD di Indonesia di  dominasi oleh pendekatan dari atas ke bawah (top-down). Hal ini dapat dimengerti mengingat sebagian besar delegasi dalam konferensi para pihak adalah pegawai pemerintah (pusat). Merekalah yang memperoleh informasi pertama dan mereka pulalah yang diberi wewenang oleh konvensi Perubahan Iklim dalam menentukan posisi di meja perundingan dan pelaksanaan kegiatan REDD di kemudian hari.
Sementara itu masyarakat madani (Civil Society) dan pemangku kepentingan (stakeholders) di luar pemerintah lebih banyak bersikap menunggu atau member respons terhadap ajakan pihak ketiga termasuk dari masyarakat madani dan investor dari luar negeri. Dalam fase persiapan ini pemerintah banyak berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan untuk dapat memposisikan mereka dlam kebijakan REDD secara utuh baik pada tingkat nasional maupun subnasional (tingkat daerah). Yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya agar proses dari atas ke bawah dapat diimbangi oleh proses dari bawah ke atas (bottom up) sehingga terjadi kesetaraan dalam mengambil keputusan dan memperoleh manfaat, dan apakah REDD merupakan kesempatan baru bagi pembangunan kehutanan dan pemanfaatan hutan di Indonesia.
Diawali dengan pembentukan Indonesian forest–Climate Change Alliance (IFCA) pemerintah menggundang partisipasi berbagai pihak untuk mencermati rancang bangun REDD. Kelompok ini kemudian  merumuskan kerangka kebijakan yang terkait dengan : (i) Penentuan tingkat emisi acuan, (ii) strategi penggunaan lahan, (iii) pemantauan, (iv) mekanisme keuangan dan (v) pembagian keuntungan dan tanggung jawab.
Untuk mematangkan proses kebijakan yang akan ditempuh, Pemerintah selanjutnya mengusulkan rancangan kesiapan (Readiness plan, R-plan) kepada bank dunia untuk menunjang pelaksanaan REDD di Indonesia. Selain kelima komponen di atas, di dalam R-Plan juga diuraikan rencana penelitian dampak REDD terhadap kondisi sosial dan lingkungan serta investasi untuk pengembangan kapasitas. Bersamaan dengan ini, usulan lain juga siajukan kepada UN-REDD, sebuah program kolaborasi badan-badan PBB (FAO, UNEP, dan UNDP), khususnya yang menyangkut kerjasama lintas sektor di Indonesia.
Sementara itu kalangan masyarakat dan pemangku kepentingan di luar pemerintah lebih banyak bersikap menunggu atau memberi respons terhadapa ajakan pihak ketiga, termasuk dari masyarakat dan investor luar negeri. Berbagai kegiatan ujicoba (demonstration activities) sudah dilakukan di beberapa daerah. Konsultasi publik juga telah dilakukan dengan dukungan yang terbatas dari pemerintah daerahyang belum sepenuhnya memahami proses REDD. Oleh karena itu dalam fase persiapan ini pemerintah akan banyak berkonsultasi dengan para pemangku kepantingan uantuk dapat memposisikan mereka dalam kebijakan REDD secara utuh baik pada tingkat nasional maupun sub nasional (tingkat daerah).
Secara sederhana proses kebijakan REDD adalah sebagai berikut :
1.      REDD + pada tahun 2007  diawali dari COP 13 di Bali
2.      Pada September 2007, indonesia melalui  Presiden Susilo Bambang Yudhoyona berkomitmen mengurangi emisi 26 % sampai 2020
3.      Pada 20 Mei 2011 penandatanganan moratorium
4.      Pada September 2011 yaitu Rencana Aksi Nasional Gerakan Rumah Kaca

Yang menjadi permasalahan dalam realisasi REDD ini adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan-kebijakan tentang Lingkungan Hidup di Kabupaten belum ada
2. Adanya tumpang tindih lahan di Kabupaten
3. Kurangnya Data Base
4. Masyarakat kurang memenuhi/patuh aturan   atau sadar tentang lingkungan
5. Penegakkan hukum yang lemah
6.Kurangnya informasi tentang REDD kepada masyarakat sehingga perlu dilakukan sosialisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar