Rabu, 21 Desember 2011

sorotan kebakaran


SUMBANGAN PERLADANGAN BAGI TERJADINYA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN
DI KALIMANTAN TENGAH




Oleh :
GOALTER ZOKO
NIM. CFA 210 017



                                        


PENDAHULUAN
Kebakaran hutan merupakan fenomena alam yang terjadi sejak ribuan tahun silam di berbagai pelosok bumi yang terkait dengan proses-proses kimiawi, fisika, dan mekanika fluida. Sejumlah ekosistem tertentu, seperti formulasi vegetasi di hutan musim Asia untuk jenis jati (Tectona grandis L.f.), Shorea robusta di daratan India, dan Pinus merkusii di Sumatra Utara, bahkan telah beradaptasi dengan api secara alami.
Fenomena kebakaran lahan dan hutan sudah menjadi bahan pembicaraan yang menghangat. Isu kebakaran menjadi topik serius dalam kaitannya dengan dampak perubahan iklim global. Emisi karbon dalam fenomena kebakaran lahan dan hutan menjadi salah satu sorotan yang membuat pentingnya masalah kebakaran lahan dan hutan ini. Bahkan kalangan ilmuwan Indonesia mulai gerah dengan laporan salah satu lembaga swadaya masyarakat Internasional (PEACE) yang mencantumkan kembali catatan Wetland Internasional dan Delft Hydraulic (LSM Internasional) mengenai peringkat Indonesia di urutan ke-3 sebagai negara penyumbang emisi besar di dunia. Bagaimana tidak, kendati sekedar laporan penelitian biasa namun jika dirujuk terus menerus, bisa menjadi laporan resmi dalam berbagai pertemuan dunia. Sementara, isi laporan memang mengejutkan banyak pihak, karena menempatkan posisi Indonesia yang sebelumnya dalam kategori non Annex (bukan negara penyumbang emisi terbesar), menjadi Annex I (kelompok negara penyumbang terbesar emisi dunia). Menurut laporan Wetland Internasional (WI) tertanggal 2 September 2006, akibat kebakaran hutan pada 1997, 1998 dan 2002 yang menghabiskan lahan hutan antara 1,5 dan 2,2 juta hektar, telah diemisikan CO2 sebesar 3000 hingga 9400 Mton (setara 818 hingga 2563 Mton karbon, dengan asumsi seluruh karbon adalah bagian dari CO2 hasil pembakaran). Nilai emisi tersebut setara antara 13 hingga 40% emisi dunia. Pada bagian lain laporan WI disebutkan bahwa nilai emisi karbon Indonesia dari kawasan gambut adalah 600 Mton akibat oksidasi karena pengeringan lahan dan 1400 Mton CO2 (setara 381 Mton karbon) akibat kebakaran lahan (ristek.go.id).
Api telah digunakan sebagai alat untuk mempersiapkan lahan yang paling murah dan sederhana untuk keperluan perladangan, pertanian menetap, perkebunan maupun kehutanan. Pada umumnya, baik pembakaran yang disengaja maupun kebakaran liar (wildland fire) memiliki sifat-sifat dasar yang sama. Perbedaannya terletak pada faktor penyebab terjadinya api. Pada kasus pembakaran disengaja, manusialah yang menjadi aktor utama terjadinya api. Sebaliknya pada kasus kebakaran liar, api dapat berasal dari alam atau penjalaran dari kegiatan pembakaran yang disengaja.
Kebakaran lahan dan hutan di Indonesia sendiri mencapai 10.142 ha sampai dengan September 2011 dan 29,87% adalah kawasan hutan. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, di Kalimantan Tengah sendiri tercatat 2.687 ha merupakan daerah yang memiliki potensi rawan kebakaran.(bppt.go.id). Salah satu isu penyebab kebakaran lahan dan hutan ini adalah kegiatan perladangan, yang menjadi kambing hitam dalam setiap kebakaran lahan dan hutan. Di Kalimantan Tengah kegiatan perladangan ini menjadi sorotan yang serius sebagai pemicu kebakaran lahan dan hutan. Dalam tulisan ini akan coba dijabarkan sebenarnya apakah memang kegiatan perladangan menjadi penyebab kebakaran lahan dan hutan.
MENGENAL KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu kejadian di mana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan non-hutan. Kebakaran yang terjadi di Indonesia sering kali membakar areal hutan dan areal nonhutan dalam waktu bersamaan akibat penjalaran api yang berasal dari kawasan hutan menuju kawasan nonhutan, atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi istilah yang melekat untuk kejadian kebakaran di Indonesia. Terkait dengan definisi tersebut, ilmu kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu ilmu yang mempelajari proses terjadinya kebakaran, perilaku api, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, dampak kebakaran terhadap unsur-unsur ekosistem, serta pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Bahan bakar dalam peristiwa kebakaran hutan dan lahan merupakan hasil dari proses fotosintesis, yaitu suatu proses kimia, di mana karbondioksida, air, dan energi matahari bersatu menghasilkan selulosa, lignin, dan komponen kimia lainnya. Proses dekomposisi dan pembakaran membalikkan proses tersebut. Dekomposisi merupakan proses yang berjalan lambat dan melepaskan panas yang sulit terlihat dalam periode waktu yang lama. Sementara itu, kebakaran melepaskan energi panas yang disimpan melalui proses fotosintesis tersebut dengan cepat. Secara sederhana hubungan antara proses fotosintesis dengan pembakaran dapat digambarkan sebagai berikut.
Fotosintesis: CO2 + H2O + energi matahari → C6H12O6 + O2
Pembakaran: C6H12O6 + O2 + suhu penyalaan → CO2 + H2O
Pada proses fotosintesis, energi matahari terpusat secara perlahan-lahan, sedangkan pada proses pembakaran, energi berupa panas dilepaskan dengan cepat. Selain panas, proses pembakaran (combustion) juga menghasilkan beberapa jenis gas, terutama karbondioksida, uap air, dan partikel-partikel.
Sering kali kita berpendapat bahwa nyala api (flame) adalah api atau kebakaran (fire) itu sendiri sebagai aspek kebakaran yang menarik perhatian. Sebagaimana yang telah diterangkan oleh Pyne et al. (1996), sebenarnya kebakaran (api) merupakan wujud dari reaksi kimia, sedangkan nyala api adalah suatu fenomena fase gas sebagai salah satu bagian saja dari proses kebakaran.
Apabila kita perhatikan persamaan tersebut maka dapat dilihat bahwa proses pembakaran terjadi apabila ada tiga unsur yang bersatu, yaitu bahan bakar, oksigen, dan panas. Jika salah satu dari ketiganya tidak ada maka proses pembakaran tidak akan terjadi. Prinsip tersebut dikenal dengan Prinsip Segitiga Api.
                   Gambar 1. Prinsip Segitiga Api


MENGENAL PERLADANGAN
Secara historis kultural, sistem pertanian berladang telah ada di dunia sejak 6.000 sebelum masehi. Sanchez (1976) menyatakan bahwa perladangan merupakan sistem pertanian yang dominan dipraktekkan di berbagai belahan dunia yang luasnya ditaksir mencapai 360 juta hektar atau 30% dari luas lahan yang dapat digarap di dunia dengan orang yang terlibat tak kurang 250 juta jiwa atau 8% dari total penduduk dunia.
Pertanian ladang (swidden agriculture), perladangan berpindah, perladangan bergilir, perladangan gilir balik merupakan sejumlah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan suatu sistem penggunaan lahan yang tertua dan banyak dijumpai di daerah tropika. Sistem perladangan berpindah (gilir balik) sering dikenal dengan metode 6 M, yakni menebas, menebang, membakar, menugal, merumput, dan menuai di mana melibatkan ‘fase tanam atau fase produksi’ dan ‘masa bera’, yaitu masa dimana vegetasi dibiarkan bersuksesi secara alami (Nugraha, 2005).
Ladang atau huma didefinisikan sebagai lahan berhutan yang dibersihkan untuk produksi tanaman pangan. Adakalanya tanaman ini dikombinasikan dengan tanaman semusim lainnya dan atau tanaman keras baik dalam satu kurun waktu atau dalam beberapa periode. Tujuannya adalah untuk konsumsi pribadi maupun dijual. Pada masa bera dalam sistem berhuma atau berladang, tanaman perintis berkayu dibiarkan tumbuh secara alami hingga berupa hutan.
Berladang merupakan kegiatan bercocoktanam oleh sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini sangat erat kaitannya dengan tradisi budaya. ‘Sistem tebas dan bakar’, mengacu pada konsep ladang bergilir, yang dalam proses penyiapan lahan diawali dengan cara ‘tebas dan bakar’.
Namun demikian, cara ini seringkali dihubungkan dengan pengrusakan atau perambahan hutan karena dilakukan dalam skala luas oleh perkebunan besar atau petani pendatang. Istilah seperti berladang, perladangan bergilir, sistem tebas bakar, mengacu pada deskripsi aktivitas perladangan. Secara teknis, istilah-istilah tersebut memiliki makna dan arti yang nyaris serupa, namun memberi langgam dan pola yang berbeda.
Perubahan praktek perladangan baik secara bertahap maupun langsung dapat menjadi ‘solusi’ atau ‘masalah’, tergantung dari persepsi mana kita melihatnya. Seperti halnya dengan negara lain, dewasa ini, masalah ‘perladangan’ di Indonesia dipandang dari berbagai persepsi yang berbeda dan seringkali justru dianggap sebagai kegiatan yang melanggar hukum. Isu pengurangan emisi, deforestasi, dan degradasi menambah pelik permasalahan ‘perladangan’ yang sebenarnya sudah diterapkan oleh masyarakat tradisional secara turun-temurun.
Hampir semua sistem pertanian di Asia saat ini berasal dari sistem perladangan. Namun demikian, perubahan yang terjadi telah menyebabkan pola dasar dari sistem perladangan menjadi sulit dikenali. Dengan demikian, orang tidak hanya terjebak dalam pandangan bahwa perubahan selalu mengarah pada bentuk kehidupan yang ‘lebih tinggi’ tingkatannya. Perladangan berkembang menjadi tiga model, seperti disajikan pada  Gambar 2, yaitu:
1. ‘Agroforest’, dimana tanaman berkayu memiliki nilai yang sama bahkan bisa lebih tinggi daripada nilai tanaman pangan;
2. Sistem pastura atau padang penggembalaan, dimana lahan bera didomestikasi untuk areal pakan ternak; atau
3. Pertanian menetap sebagai bentuk intensifikasi pertanian. Misalnya penggunaan tanaman penutup tanah dari kelompok legum (kacang-kacangan) atau tanaman penyubur, penggunaan pupuk kandang yang dihasilkan dari padang penggembalaan, atau penggunaan pupuk kimia yang menggantikan fungsi masa bera sebagai unsur tambahan untuk mengembalikan kesuburan tanah.

                 Gambar 2. Skema evolusi sistem perladangan sebagai bagian dari sejarah sistem  
                                    pertanian menetap (persisten), pertanian berbasis pohon dan berbasis
                  ternak

Petani menerapkan sistem perladangan dengan masa bera yang panjang untuk memproduksi tanaman pangan bagi kebutuhan harian mereka (subsisten). Sistem ini secara ekologi dinilai stabil dalam kondisi kepadatan penduduk rendah. Namun dewasa ini, pertambahan penduduk berlangsung cepat, permintaan pasar terhadap hasil pertanian meningkat, dan kebijakan pemerintah dalam pembangunan lahan dan daerah pemukiman telah mengubah aktivitas perladangan menjadi lebih intensif (Myers dan De Pauw 1995).

API MASIH MENJADI PILIHAN DALAM PERLADANGAN
Pada pertanian lahan kering aktivitas perladangan tradisional tidak terlepas dari penggunaan api untuk membuka lahan. Namun, sejumlah bukti menunjukkan cadangan karbon tetap menurun akibat konversi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan meski tidak melibatkan aktivitas pembakaran.
Banyak petani masih menerapkan sistem tebas bakar untuk membersihkan lahan meskipun pemerintah telah mencanangkan program ‘zero burning’ yaitu pembersihan lahan tanpa menggunakan api atau pembakaran. Dari sebuah studi yang dilakukan di Sumatera, Ketterings dkk (1999) melaporkan bahwa keputusan petani untuk tetap melakukan proses pembakaran lahan disebabkan karena hal berikut:
1. Merupakan cara yang paling efektif dan cepat dalam pembukaan lahan;
2. Dapat menekan pertumbuhan gulma dan vegetasi liar lainnya, terutama pada siklus awal setelah penanaman tanaman pangan;
3. Mengubah biomasa menjadi pupuk alami yang bermanfaat bagi tanaman dan tanah;
4. Menggemburkan tanah, bibit tanaman menjadi cepat tumbuh; dan
5. Merupakan cara yang efektif untuk membunuh hama dan patogen

                     Gambar 3. Alasan penggunaan api dalam pembukaan/pembersihan lahan menurut 
                                        Ketterings dkk (1999)
LUAS PERLADANGAN DI KALIMANTAN TENGAH

Menurut Puslitlbangtanak (2000) luas lahan di Kalimantan Tengah adalah 15.1 juta hektar atau 8,02% total luas lahan di Indonesia, dimana 21,2% merupakan lahan basah yaitu sekitar 3.2 juta hektar dan 78,8% atau setara dengan 11,9 juta hektar merupakan lahan kering.
Untuk dapat mengetahui dampak perladangan terhadap sumbangannya bagi kebakaran lahan dan hutan di Kalimantan Tengah, maka perlu juga diketahui potensi luas perladangan yang ada. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Kalimantan Tengah (2009), maka luas areal perladangan terutama untuk komoditi padi ladang adalah 81.298 hektar yang berarti 0,54% dari total luas lahan di Kalimantan Tengah dan 0,68% dari total luas lahan kering yang ada bagi kegiatan perladangan secara umum.
Provinsi/Pulau
Lahan Basah
(x 1000 ha)
Lahan Kering
(x 1000 ha)
Total
(x 1000 ha)
NAD
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel (dan Babel)
Bengkulu
Lampung
788
918
422
4737
1130
3301
121
401
4841
6262
3922
4921
3674
6943
1920
2940
5629
7180
4344
9658
4804
10244
2041
3341
SUMATERA
11819
35422
47241
DKI
Jabar (dan Banten)
Jateng
DIY
Jatim
38
573
384
15
580
48
4013
3081
314
4541
86
4586
3465
329
4744
JAWA
1590
11620
13210
Bali
NTB
NTT
66
42
88
493
1979
4541
559
2021
4629
BALI & NUSA TENGGARA
196
7013
7209
Sulut ( dan Gorontalo)
Sulteng
Sulsel
Sultra
192
445
874
505
2420
5783
5348
3176
2612
6228
6222
3681
SULAWESI
2015
16728
18743
Maluku ( dan Maluku Utara)
Papua
748
13396
7069
22709
7817
41105
PAPUA & MALUKU
14144
34778
48922
TOTAL
39265
148950
188215
     (Puslitbangtanak, 2000)
SEBARAN HOTSPOT DI KALIMANTAN TENGAH
Kebakaran hutan dan lahan dapat dipantau dengan menggunakan data AVHRR-NOAA (Advanced Very High Resolution Radiometer-National Oceanic and Atmospheric Administration) yaitu melalui pengamatan hotspot.
Hotspot merupakan titik-titik panas di permukaan bumi, dimana titik-titik tersebut merupakan indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan (Arief, 1997 dalam Ratnasari, 2000). Menurut LAPAN (2004) hotspot atau titik panas adalah parameter yang diturunkan dari data satelit dan diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini sudah digunakan secara meluas baik di Indonesia maupun negara-negara lain untuk memantau kebakaran hutan dan lahan dari satelit.
Hotspot mengindikasikan lokasi kebakaran vegetasi seperti terlihat pada monitor komputer atau peta yang dicetak, atau kalau dicocokkan dengan koordinatnya. Hal ini merupakan istilah yang sangat populer pada awal-awal pengenalan penggunaan citra NOAA untuk mendeteksi kebakaran vegetasi dan sangat dimengerti oleh semua pihak. Lebih lanjut , Ratnasari (2000) menjelaskan bahwa data hotspot dari citra  AVHRR-NOAA dapat dijadikan sebagai indikasi kebakaran hutan/lahan, baik kebakaran tajuk (Crown fire), kebakaran permukaan (Surface fire), maupun kebakaran bawah (Ground fire). Manfaat AVHRR ada dua dalam monitoring kebakaran. Pertama, cakupan pengamatan di seluruh bumi setiap hari pada resolusi sedang (1,21 km2) dimana terdepan dalam operasi monitoring kebakaran global. Kedua mempunyai kisaran spektral yang luas dari visible (ch. 1, 0,63 µm), near-infrared (ch. 2, 0,83 µm), mid-infrared (ch. 3, 0,37 µm) dan gelombang panjang termal (ch. 4-5, 10-12 µm).
          Gambar 4. Cakupan luasan pengamatan di seluruh permukaan bumi

Daerah sekitar lokasi hotspot merupakan daerah yang rawan terhadap kebakaran, oleh sebab itu di daerah tersebut sebaiknya tidak dilakukan kegiatan pembakaran.  
                    
             Gambar 5. Sistem hotspot  dalam deteksi kebakaran hutan/lahan (dishut.tabalongkab.go.id)


Gambar 6. Kejadian hotspot di Kalimantan ( http://space.geocities.jp/hkdkalimantan/fire2011/fire2011home.html)



Berdasarkan data dari Direktorat PKH Departemen Kehutanan (2009), maka data sebaran hotspot secara total di Kalimantan Tengah adalah seperti tabel di bawah ini:
            Dari data di atas terlihat bahwa pada tahun 2009 secara total jumlah hotspot di Kalimantan Tengah adalah 4.618 dimana kabupaten Pulang Pisau merupakan yang terbanyak yaitu 562 sementara terendah adalah Barito Timur 94 hotspot.




SUMBANGAN PERLADANGAN TERHADAP KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN DI KALIMANTAN TENGAH

            Setelah mengetahui luasan lahan yang diperkirakan untuk perladangan dan sebaran hotspot yang terjadi di Kalimantan Tengah berdasarkan tahun 2009 maka bisa juga akhirnya kita asumsikan seberapa besar sumbangan aktivitas pembakaran lahan dalam perladangan ini. Dari hasil asumsi ini kemudian kita jadikan sebagai perkiraan kebakaran yang terjadi pada tahun 2009 di Kalimantan Tengah dengan hasil luasannya.
Sementara berdasarkan Usup (2011) jika mengacu data berdasarkan hotspot berbasis tipe tutupan lahan, maka seperti Gambar 7 terlihat bahwa perladangan jika diasumsikan dengan pertanian lahan kering, terlihat bukanlah penyumbang terbesar kebakaran lahan dan hutan di Kalimantan Tengah.

Gambar 7. Jumlah hotspot  pada setiap tipe tutupan lahan (Usup, 2011)
Jika mengacu pada munculnya hotspot dan cakupan luas pengamatan hotspot, maka dengan sebaran 4.618 hotspot dengan cakupan 1,21 km2 maka luasan konversi dari hotspot adalah 5587,78 km2 atau setara dengan 558.778 hektar. Berdasarkan data luas perladangan tahun 2009 yaitu 81.298 hektar, maka 14,6% merupakan penyumbang kebakaran lahan dan hutan walaupun belum dapat dipastikan dari luas perladangan tersebut semuanya melakukan pembakaran atau tidak.
a.
b.
Gambar 8. a. Merupakan perladangan dengan pembakaran lahan;
                    b. Lahan hasil pembakaran digunakan untuk padi ladang

Asumsi ini jelas menggambarkan bahwa secara pengolahan data kasar, perladangan yang dalam aktivitasnya menggunakan pembakaran lahan memang memberikan kontribusi dalam terjadinya kebakaran lahan dan hutan. Sumbangan dari perladangan ini mengikuti pola di mana kasus pembakaran disengaja, manusialah yang menjadi aktor utama terjadinya api yang kemudian tanpa kontrol menyebabkan penjalaran dari kegiatan pembakaran yang disengaja merambat ke areal hutan.
Perladangan bukanlah donatur terbesar atau dominan dalam pemicu meluasnya kejadian kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah tetapi kita juga harus mencermati kejadian pada lahan gambut sekunder dan belukar rawa gambut yang memberikan sumbangan terbesar bagi kejadian kebakaran hutan dan lahan. Apa yang sebenarnya terjadi pada lahan tersebut dan untuk tujuan apa pembakaran pada lahan tersebut. Adakah tujuan penguasaan lahan atau pembukaan lahan untuk tujuan lain di luar non pertanian?
Berbagai aplikasi data hotspot untuk kepentingan pemantauan kondisi hutan dan lahan dirasa banyak memiliki kelemahan. Kelemahan tersebut bahkan membuat kualitas input bagi pengambilan keputusan menjadi bias sehingga informasi yang disebarluaskan ke masyarakat menjadi kurang valid. Beberapa kelemahan dari data hotspot adalah:
·      Karakteristik data, satelit NOAA tidak dapat menembus awan, asap atau aerosol sehingga data yang dihasilkan kurang lengkap
·      Standar pengamatan dan pemrosesan citra NOAA, menyebabkan perbedaan jumlah hotspot pada lokasi yang sama
·      Sistem distribusi data, panjangnya rantai distribusi data membuat keterlambatan informasi
·      Keberlanjutan ketersediaan data, terkendala dalam penyediaan teknologi yang membutuhkan pendanaan yang besar
KESIMPULAN DAN SARAN
            Kebakaran hutan dan lahan sebuah fenomena yang terjadi hampir di semua belahan dunia, bahkan 6000 tahun sebelum masehi fenomena ini telah terjadi. Isu kebakaran lahan dan hutan ini memang menjadi perhatian serius berbagai kalangan. Kurun waktu yang sudah demikian lama seharusnya menjadi pelajaran dan pengalaman penting bagi kita untuk memahami dan mencari bentuk implementasi bagi pencegahan dan penanggulangannya.
       Berulangnya kasus kebakaran lahan dan hutan ini menunjukkan kita belum serius dan bijaksana dalam menghadapi masalah ini. Kecenderungan saling menyalahkan antar pihak bukan semakin menekan angka kebakaran tetapi semakin menyalakan api kebakaran tersebut. Perladangan memang memiliki andil 14,6% dalam terjadinya kebakaran hutan dan lahan, tetapi ini hanya sebagian kecil dari sumbangan terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
       Penggunaan hotspot sebagai salah satu indikator kejadian kebakaran hutan dan lahan terkadang memang cara tercepat tetapi juga menimbulkan berbagai kesalahan karena beberapa kelemahan dari satelit NOAA yang digunakan. Kelemahan inilah yang kadang menjadi vonis bagi para peladang yang notabene bukan penyumbang terbesar kebakaran hutan dan lahan.
       Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi yang menjadi langganan kebakaran hutan dan lahan setiap tahun terutama ketika musim kemarau tiba. Mengingat hal ini maka dapatlah direkomendasikan agar adanya keterpaduan di antara semua stakeholders dalam upaya pencegahan kebakaran bukan saling menyalahkan.
Bagi para peladang sendiripun diharapkan kearifannya dalam pembukaan lahannya terutama jika target crop yang dibudidayakan bukanlah padi ladang bisa melakukan alternatif dengan pengelolaan lahan tanpa bakar (PLTB).
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan diharapkan juga mampu lebih kreatif dalam mengelola kejadian kebakaran tiap tahunnya dengan pemberdayaan masyarakat yang langsung bersentuhan dengan kebakaran dibandingkan dengan upaya-upaya pemadaman yang jelas bernilai mahal dan terkadang tidak signifikan hasilnya.
      


























DAFTAR PUSTAKA


balittanah.litbang.deptan.go.id/eng/dokumentasi/.../tanahsawah8.pdf
bbksdajatim.blogspot.com/2010/08/lebih-mengenal-hotspot.html
Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Gunung Mas. 2009. Luas dan Jenis Penggunaan Lahan di Kabupaten Gunung Mas.

Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Kalimantan Tengah. 2009. Rencana Luas Tanam dan Realisasi Tanam Tahun 2009/2010.

dishut.tabalongkab.go.id

LAPAN. 2004. Kebakaran Hutan/Lahan dan Sebaran Asap di Sumatera dari Data Satelit Lingkungan dan Cuaca. Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh.
Ketterings QM, Wibowo TT, van Noordwijk M, Penot E. 1999. Slash-andburn as a land clearing method for small-scale rubber producers in Sepunggur, Jambi province, Sumatera, Indonesia. Forest Ecology and Management 120:157–169.

Ketterings QM, 1999. Fire as a land management tool in sepunggur Sumatera, Indonesia, can farmers do without it?. PhD Thesis. Ohio State University. 285 p.

Mulyoutami, E., van Noordwijk, M., Sakuntaladewi, N. dan Agus, F. 2010. Perubahan Pola Perladangan: Pergeseran persepsi mengenai para peladang di Indonesia. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office. 101p.

Myers RJK, de Pauw E. 1995. Strategies for the management of soil acidity. In: Date RA, Grundon NJ, Rayment GE, Probert ME, eds. Plantsoil interactions at low pH: principles and management. Kluwer, Dordrecht. p 729–741.

Nye P, Greenland D. 1960. The soil under shifting cultivation. Technical Communication No. 51. England: Commonwealth Agricultural Bureau.

Nugraha, A. 2005. Rindu Ladang Perspektif Perubahan Masyarakat Desa Hutan.Wana Aksara.

portal.ristek.go.id/download.php?file=pemanasan.pdf

Ratnasari, E. 2000. Pemantauan Kebakaran Hutan dengan Menggunakan Data Citra NOAA-AVHRR dan Citra Landsat TM: Studi Kasus di Daerah Kalimantan Timur. Skripsi. Bogor. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Sanchez P. 1976. Properties and management of soils in the tropics. New York: John Wiley and Sons.

Syaufina, L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Bayumedia Publishing.

Trenbath BR. 1989. The use of mathematical models in the development of shifting cultivation systems. In: Proctor J, ed. Mineral nutrients in tropical forest and savanna ecosystems. Oxford: Blackwell Scientific Publications. p 353–371.

Usup, A. 2011. Handout Power Point Kuliah Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Characteristics Peatland Fire in Central Kalimantan).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar